Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan yang Memaksa Pulang

30 Desember 2017   10:39 Diperbarui: 1 Januari 2018   22:36 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan akhir Desember masih meluruh. Menyisakan hawa dingin menusuk tulang. Perempuan itu menangkupkan kedua tangannya di dada. 

Suasana Natal kian terasa. Tiba-tiba saja ia seperti mencium aroma wangi kue jahe buatan Ibunya. Juga seolah mendengar teriakan bocah-bocah yang berebut mencoba pakaian baru.

"Kris! Cepatlah sedikit!" teriakan itu nyaris membuatnya terlompat dari lamunan. Tapi hanya sesaat, ketika bunyi gesekan gembok dan kunci beradu membuatnya tersadar di mana ia tengah berada saat ini.

 "Paket dari Sinterklas," sipir menyodorkan sebuah bungkusan ke arahnya.

"Dari siapa?" ia mengernyit alis.

"Sinterklas."

Kris tertawa. Ia tahu perempuan berseragam biru tua itu berbohong.

***

Kris, perempuan usia tiga puluhan. Sudah tiga tahun ini ia menghabiskan waktu di lembaga pemasyarakatan khusus perempuan. Ia divonis hukuman selama lima tahun, itu lebih ringan dari tuntutan sebelumnya, yakni hukuman seumur hidup.

Ia terkenang hari-hari pertama masuk di hotel prodeo ini. Dua teman yang lebih dulu menempati kamar sempit ini---yang tingkah laku mereka lebih mirip laki-laki ketimbang perempuan, bergantian mengerjainya. Berulangkali ia nyaris kehilangan kesabaran. Dan berulangkali pula ia meminta kepada sipir agar dirinya dipindahkan ke sel lain. Tapi permintaannya sama sekali tidak pernah digubris.

"Kamu tidak pernah menjawab pertanyaan kami. Mengapa perempuan secantik kamu bisa berada di tempat terkutuk ini?" ia teringat salah seorang dari teman barunya  pernah mencecarnya. Kris waktu itu hanya diam. Ia memang tidak ingin mengatakan apa-apa.

"Kamu mencuri? Merampok? Atau..."

"...atau menjadi penipu ulung seperti kami?" 

Kedua perempuan yang berdiri mengapitnya itu saling bersahutan. Lalu bersamaan melepas tawa.

"Hooiii! Bisa tenang tidak?!" suara sipir menggema ke seluruh ruangan, membuat kedua perempuan itu menghentikan tawa mereka.

"Kami cuma penasaran, Pir! Perempuan ini terlalu lembut berada di antara kita."

Sipir berjalan mendekati sel. Sembari mengacung-acungkan pentungan, perempuan berumur yang mengenakan seragam biru itu berkata, "asal kalian tahu, ya. Teman baru kalian itu telah melakukan hal yang lebih berani dari sekadar menjadi penipu!"

Sejenak kedua perempuan di dalam sel itu saling berpandangan.

"A-pa yang sudah kamu lakukan?" salah seorang beralih menatap Kris tak berkedip.

"Membunuh."

Kris terpaksa mengatakannya.

***

Kris boleh bernapas lega. Jelang Natal ini kedua temannya yang usil itu untuk sementara waktu dipindahkan ke sel lain.

"Kris!" seruan keras itu membuatnya menoleh. Dilihatnya sipir perempuan---yang tadi, kembali membuka pintu jeruji. "Ada yang ingin bertemu denganmu."

Kris berdiri.

"Bergegaslah! Waktu kunjungan sangat pendek," sipir mengingatkan. Kris meraih jaket pesakitan yang teronggok di atas tikar. Ia mengenakannya sembari berjalan mengikuti langkah sipir menuju ruang tunggu.

Kris tersenyum saat mata mereka bertemu. 

Laki-laki itu. Ia selalu datang mengunjunginya sehari sebelum Natal tiba.

Mereka duduk berhadapan.

"Bagaimana kabarmu?" laki-laki itu menegurnya dengan suara khas yang berat.

"Kabar baik, Mister," Kris menjawab pelan.

"Kau tampak kurusan, Kris," laki-laki itu menyipitkan kedua matanya. Kris menanggapinya dengan seulas senyum.

"Seperti sebelumnya, kita akan melakukan hal yang sama. Kau sudah siap, Kris?" laki-laki itu menatap Kris tak berkedip.

***
Kris tertawa renyah mencicipi kue jahe gosong buatannya sendiri. Sementara dua anak perempuannya berebut membuka bungkusan yang ternyata berisi pakaian baru.

"Bagus sekali, Ma. Dari siapa ini?" si sulung menatapnya riang.

"Dari Sinterklas," Kris menirukan ucapan sipir penjara itu.

"Mama akan pergi lagi besok usai misa Natal?" bungsunya yang masih duduk di bangku TK besar menyela. Kris mengangguk.

"Lalu kapan kita bisa silaturahmi ke rumah saudara seperti dulu , Ma?" sulungnya yang usianya selisih dua tahun dari adiknya, menatapnya sekali lagi. Kris meraih kepala kedua gadis kecilnya, mengelus dan mengecup lembut rambut mereka bergantian.

"Dua tahun lagi kontrak kerja Mama rampung. Kita bisa pergi berkeliling ke rumah sanak famili lagi. Mama janji," Kris menyentil hidung anak-anaknya. 

Ya, Kris, ia terpaksa berbohong. Ia tidak ingin kedua putri kecilnya tahu bahwa dirinya-lah yang membunuh Ayah mereka. Yang mayatnya diketemukan di tengah ladang jagung.

Kris mendesah. Ia membunuh bukan tanpa sebab. Ia sudah sampai pada batas kesabaran sebagai perempuan yang terlalu banyak mengalah. Ia sudah tidak tahan lagi diperlakukan semena-mena oleh suaminya itu.

Kris menelan ludah. Ia teringat bagaimana pahitnya hidup mendampingi suaminya yang pemalas, pemabuk dan penjudi. Ia terpaksa  mengambil alih tanggung jawab rumah tangga. Harus bekerja banting tulang menghidupi keluarga.

Terakhir Kris kehilangan kesabaran ketika suatu malam suaminya itu memaksanya menyerahkan semua uang penghasilan kepadanya. 

"Kau sudah terlalu sering merampas uangku. Kali ini tidak akan kuberikan!" Kris berusaha melawan suaminya. Tapi laki-laki itu sepertinya sedang mabuk. Ia menggelandang tangan Kris hingga perempuan itu jatuh terjengkang.

"Kau perempuan keparat! Aku butuh uang banyak, tahu! Lastri hampir melahirkan. Aku harus bertanggung jawab menikahinya!" suaminya berusaha merandek sekali lagi ke arahnya. 

Lastri? Mendadak dada Kris terasa perih. 

Mereka lalu bertengkar hebat. Dan Kris tanpa sadar kehilangan kontrol. Ia melampiaskan amarahnya dengan memukul tengkuk suaminya itu berulang-ulang menggunakan tongkat kayu yang tersandar pada dinding, yang biasa ia gunakan untuk menumbuk biji jagung.

Pukulan bertubi itu membuat tubuh suaminya diam tak bergerak lagi.

Kris menarik napas panjang.  Berusaha menepis bayang kejadian naas di malam itu. Malam jelang Natal di mana ia berniat menjemput kedua putrinya yang sedang menghabiskan liburan di rumah neneknya. 

Kini ia sudah menebus semuanya. Jeruji penjara telah membatasi kebebasannya.

Sejenak mata Kris beralih ke arah kue jahe yang masih meringkuk rapi di dalam oven.

***
Kris sudah duduk kembali di ruang tunggu. Laki-laki itu muncul dari dalam sel, melepas  wig  panjang sebahu dan jaket pesakitan yang melekat pada tubuh kurusnya. Ia tersenyum tipis demi dilihatnya Kris masih mengenakan pakaian pria, berkaca mata dan bertopi.

"Segera lepas penyamaranmu, Kris. Sebelum sipir penjara itu mencurigai," laki-laki itu menepuk pundak Kris perlahan.

"Selamat Natal, Mister.  Terima kasih kado untuk anak-anak saya. Mereka sangat senang," Kris tersenyum ke arah laki-laki kurus itu. " Oh, ya, satu lagi. Penyamaran Anda menyerupai saya--- sungguh amat sangat sempurna."

 ***

Malang, 30 Desember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun