Butuh waktu dan kesabaran luar biasa untuk mematahkan paradigma bahwa Ibu sambungan atau Ibu tiri adalah perempuan yang kejam. Sungguh, aku merasakan itu. Aku mesti berjuang menghadapi anak-anak Mas Yon. Mereka masih sulit menerimaku. Terutama si sulung Shinta. Ia sama sekali tidak mau bicara sepatah kata pun denganku. Lain halnya Rita, si bungsu itu agaknya lebih bisa melihat ketulusanku dibanding dengan kakaknya. Bocah kecil berusia delapan tahun itu kerap secara sembunyi-sembunyi mencuri pandang dan tersenyum ke arahku.
"Rita! Ngapain senyum-senyum begitu?" Shinta akhirnya memergoki juga apa yang dilakukan oleh adiknya. Rita sontak menunduk. Ia memilin-milin ujung taplak meja dengan wajah pucat pasi.
"Rita hanya ingin mengatakan pepes tongkol buatan Mama...eh, Tante, enak sekali!" Rita menjawab takut-takut. Demi menjaga suasana di meja makan tetap nyaman, aku memilih mengalah. Sama sekali tidak mengatakan apa pun.
"Shinta, kau tidak makan?" Mas Yon menegur anak gadisnya yang memberengut. Shinta tidak menyahut. Ia berdiri. Menyeret lengan adiknya sembari menatapku tajam.
Aku hanya menebah dada.
"Kau tidak boleh diam membisu seperti itu. Rin. Kau berhak menegur mereka. Sebab mereka kini telah menjadi anak-anakmu. Bagian dari hidupmu," Mas Yon beralih menegurku.
Sekali lagi aku hanya diam.
***
Hubunganku dengan Shinta tak juga kunjung membaik. Rita juga, ia jadi ikut-ikutan tidak mau bicara denganku. Aku bisa memaklumi. Ia pasti takut terhadap kakaknya.Â
Pernah suatu pagi aku mendengar percakapan keduanya saat hendak berangkat ke sekolah.
"Kau bisa minta antar Kakak membeli keperluan sekolahmu tanpa meminta bantuan pada perempuan itu, kan, Ri!"