Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dongeng untuk Ibu

19 Desember 2017   22:00 Diperbarui: 19 Desember 2017   22:19 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini dongeng pertamaku untuk Ibu. Sudah lama aku ingin melakukannya. Tapi aku selalu kehilangan waktu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri sehingga aku lupa, ada seorang Ibu---Ibuku sendiri yang kesepian menunggu kedatanganku.

Di tepi ranjang yang menua aku bersimpuh. Memeluk tubuh Ibu yang ringkih. Tangan keriputnya terkulai lemah ketika perlahan kuangkat dan kugenggam. Oh, Ibu, aku akan mendongeng kisah untukmu. Jadi jangan terlelap dulu.

Sahdan,  di  sebuah  desa  terpencil  yang  jauh  dari  keramaian  kota  hiduplah  seorang  perempuan bersama  putri  semata  wayangnya  yang  mulai  menanjak  remaja.  Perempuan  itu  baru  saja  kehilangan  suami  tercinta.  Ia  masih  mengenakan  busana  berkabung  warna  hitam.  Bibirnya  dibiarkan  pucat  pasi  tanpa  polesan  gincu.  Bahkan  rambutnya  yang  panjang  legam,  yang  biasa  disisir  rapi tergerai  kusut  masai.  Perempuan  itu  sepertinya  menghayati  benar  arti  sebuah  kehilangan.

"Ia  adalah  separuh  nyawaku,"  bisiknya  nyaris  tak  terdengar.  Tangannya  gemetar  ketika  menyentuh  benda-benda  peninggalan  di  dalam  rumah  yang  menyisakan  banyak kenangan  bersama  suaminya.

"Semua  akan  terlupakan  seiring  berjalannya  waktu,"  anak  gadisnya  yang  berdiri  tak  jauh  darinya  menyahut  datar.

"Ya.  Tapi  bagi  sang  pecinta,  waktu  tak  pernah  berjalan  meninggalkannya,"  perempuan  itu  mendekap  sebingkai  foto. Foto  diri  sang  suami  yang  tengah  tersenyum  lebar.

"Ia  telah  pergi  meninggalkanmu.  Selama hidupnya ia  juga  bukan  seorang  suami  dan  ayah  yang  baik."

"Mencintai  itu  buta  anakku.  Kita tak  lagi  bisa  melihat  keburukan  seseorang."

"Ibu  terlalu  mendewakan  cinta."

"Tidak  anakku.  Ibu  hanya  ingin  jujur  terhadap  perasaan  Ibu  sendiri."

Ibu, itu sepenggal dongengku untukmu. Dongeng paling indah yang ingin kupersembahkan. Dongeng tentang ketulusan cinta seorang perempuan yang penuh maaf. Dongeng yang selama ini tak sempat kuungkapkan. Hanya kusimpan dalam hati. Kini kesempatan itu ada. Jadi bukalah perlahan mata Ibu yang terpejam.

Tak ada respon apa pun. 

Ibu masih saja membisu, diam.

"Ibu Anda mengalami koma, Nyonya. Jadi percuma mengajaknya bicara panjang lebar," seorang suster bicara padaku, mengingatkanku. Wajahku mendadak terasa panas. Aku tidak suka mendengar kata-kata suster barusan.

"Tahu apa kau tentang Ibuku, Suster?" aku menautkan kedua alis mataku. Suster terdiam. Ia mundur beberapa langkah.

Kembali kugenggam tangan Ibu. Kuelus punggungnya perlahan. Kucium sepenuh hati. Oh, tangan itu, tak lagi terkulai. Tak pula terasa hangat. Ia telah dingin dan beku.

Aku tertunduk. 

Ibu. Kiranya kau lebih suka menyusul Ayah ke alam sana bersama cinta sejatimu ketimbang mendengar dongeng dariku, seorang anak yang tak tahu diri--- yang datang terlambat menemuimu.

***

Malang, 19 Desember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun