Seperti biasa, hari Jumat bagi saya adalah hari istimewa. Hari khusus membaca. Membaca novel  The Outsider karya Albert Camus (hadiah dari seorang teman spesial) hampir rampung. Membaca keindahan alam bersama anak lanang di wahana perkebunan teh Wonosari Lawang, baru saja kelar. Tinggal satu agenda, membaca kehidupan sosial masyarakat sekitar di sebuah dusun bernama Ngepeh. Yang terakhir ini sebenarnya sudah lama sekali ingin saya lakukan. Dan hari ini kesempatan itu ada, maka saya tidak ingin menyia-nyiakannya.
Masih didampingi anak lanang saya berputar-putar mencari alamat yang sudah lama saya simpan. Omah Sinau---alamatnya tertulis jelas, namun pencarian saya agak tersendat. Sekitar setengah jam barulah saya menemukan apa yang saya cari.
Ajeng Ria Sosok Penggagas Omah Sinau
Dengan langkah penuh percaya diri saya menuruni anak tangga menuju sebuah rumah sederhana yang terletak di Jalan Raya Ngepeh no.123, Desa Ngijo Karangploso Malang. Saya disambut oleh seorang perempuan muda, Mbak Ajeng Ria selaku tuan rumah. Dengan ramah saya dipersilakan masuk dan mata saya langsung dimanjakan oleh suguhan buku-buku, lukisan-lukisan yang terpampang di dinding, dan tumpukan alat permainan bocah-bocah.
Sebelum melanjutkan perbincangan, Ibu dari tiga gadis kecil itu pamit sebentar untuk mandi.
Usai mandi, Mbak Ajeng Ria memberitahu saya, bahwa setiap sore selepas sholat Ashar, ia memiliki jadwal menemani bocah-bocah Omah Sinau. Karena memang sudah ada niat sejak dulu untuk mengetahui seluk beluk Omah Sinau, maka dengan suka cita saya mengikuti langkah Mbak Ajeng.
"Jadwal kami berpindah-pindah Mbak Lilik. Sesuai dengan kesepakatan," Mbak Ria memberikan sedikit penjelasan. Sembari berjalan beriringan, diikuti oleh dua putri kecilnya yang ikut membawakan properti bermain, kami meninggalkan rumah menuju desa sebelah yang tidak terlalu jauh.
Sekitar sepuluh menit kami sampai di sebuah Mushola. Di sana terlihat sekelompok bocah, dari berbagai usia, mulai pra sekolah, SD dan SLTP, sudah duduk menunggu. Mereka menyambut kedatangan Mbak Ajeng Ria dengan senyum sumringah. Tanpa sadar saya terbawa oleh kebiasaan saya. Menyalami bocah-bocah kecil itu sembari bertanya ini itu. Sementara Mbak Ajeng Ria sibuk mengeluarkan buku-buku dari dalam tas dorongnya yang lumayan berat.
"Mbak, kami mau main dakon," dua bocah laki-laki mendekati Mbak Ajeng Ria.
"Iya, mainlah. Ayo siapa yang mau main scrable?" Mbak Ajeng Ria mengeluarkan alat main dari dalam tasnya. Saya ikut membantu menjereng buku-buku di atas ubin.
"Ada yang mau mendengar dongeng dari Bu Lilik?" Mbak Ajeng Ria menawarkan. Beberapa anak mengacungkan tangan. Jadilah sore itu saya mendongeng di hadapan anak-anak---yang mengingatkan saya pada murid-murid bimbel saya.
"Awalnya saya bersama suami menggagas berdirinya Omah Backpacker, sebuah tempat untuk menginap. Inisiatif ini muncul atas dasar keluhan beberapa teman dari luar kota dan manca negara yang menyatakan kesulitan mencari penginapan murah. Maka saya dan suami merelakan kamar kosong yang ada di rumah kami sebagai tempat transit bagi tamu yang ingin menghabiskan liburan di sekitar Kota Malang. Kami tidak memungut beaya. Para tamu yang menginap hanya kami sarankan menyumbangkan buku-buku. Alhasil, buku-buku yang kami terima sangat banyak dan menumpuk. Dari situlah terbersit ide memanfaatkan buku-buku tersebut dengan merekrut bocah-bocah di sekitar lingkungan kami agar mereka ikut membaca."
Sungguh, saya merasa sangat kagum dengan pemikiran Mbak Ajeng dan suaminya. Kini impian mereka sudah terwujud. Bocah-bocah yang direkrutnya lumayan banyak. Sekitar 70 anak dan ternaungi di bawah sebuah komunitas warga bernama Omah Sinau.
Sembari momong bocah-bocah, pembicaraan kami terus berlanjut. Masih menurut Mbak Ajeng Ria, Omah Sinau mendapat dukungan penuh dari warga setempat. Ibu pamong desa dan anggota PKK ikut berkecimpung. Karang Taruna tak segan membantu. Hampir semua warga dilibatkan di dalamnya. Memang itulah tujuan utama didirikan Omah Sinau ini. Agar seluruh warga merasa ikut memiliki dan bertanggungjawab memajukannya.
Omah Sinau sendiri meski baru terbentuk sekitar satu tahun lalu, sudah memiliki program pembinaan yang beragam sesuai dengan minat dan bakat siswa yang tergabung. Ada kelas catur, kelas menggambar, kelas menari, kelas beladiri, kelas diskusi, kelas Bahasa Inggris dan lain sebagainya. Pada saat saya berkunjung kebetulan hari Jumat, hari di mana jadwal kelas  free alias bebas bermain. Itulah sebabnya anak-anak pada sore itu asyik bersuka ria menghabiskan waktu mereka dengan alat permainan yang telah disediakan. Â
Ada yang menggelitik hati usai pertemuan singkat dengan sosok perempuan muda berpenampilan bersahaja itu. Kata-kata bijak yang tak sadar diucapkannya.
"Kami pernah mengalami keterpurukan Mbak Lilik. Tapi kami berusaha untuk bangkit. Dari pengalaman pahit itulah kami mengambil banyak hikmah. Lantas kami berpikir, tak harus menunggu berlebih untuk berbagi. Dengan sedikit yang kami punya dan bisa, kami tetap berharap menjadi insan bermanfaat bagi orang lain."
Hmm...bagaimana dengan saya dan Anda?
***
Malang, 08 Desember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H