Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Dalam Peluk ODHA

1 Desember 2017   09:20 Diperbarui: 1 Desember 2017   09:28 1558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber :Sunset Kiss/ Fotos y Vectores gratis/ www.freepik.com

Harus menyalahkan siapa ketika mengetahui diri terjangkit penyakit menakutkan ini? Membenci Mama yang telah melahirkanku? Atau mengecam laki-laki pembawa virus yang kupanggil dengan sebutan Papa itu?

"Ini takdir." Begitu yang kudengar dari bibir suster Alia---suster yang merawatku ketika pertama kali mengetahui aku terdeteksi virus mematikan itu.

"Miranti...maafkan Mama sayang..." Mama mengulang-ulang kalimat itu di sela-sela tangisnya yang tak kunjung reda.

"Tidak perlu ada yang ditangisi dan dimaafkan, Ma," itu akhirnya yang kukatakan pada Mama. Sudah kuputuskan, aku harus bangkit. Ya, Miranti, gadis muda yang baru saja dinyatakan positif terinfeksi virus HIV ini harus tetap menjalani dan meneruskan hidup seperti sebelum-sebelumnya. Tidak boleh menyerah.

Tapi kenyataan tidak seperti yang kuharapkan. Saat berita penyakit yang kuderita ini menyebar, satu persatu orang-orang di sekitarku menjauh, termasuk teman-teman SMU-ku.

"Takut tertular," begitu alasan yang kerap kudengar baik secara bisik-bisik maupun terang-terangan. Sungguh, hal itu membuatku teramat sedih dan kecewa. Sedih karena aku terkucilkan dari hidupku. Kecewa karena merasa Tuhan sangat tidak adil padaku dengan memberikan penyakit seperti ini.

Kecuali Alan. Ya---hanya Alan-lah yang tidak berubah. Ia tetap bertahan menjadi teman terbaikku.

"Kau tidak takut, Alan?" suatu hari aku sengaja bertanya padanya. 

"Takut apa, Miranti?" Alan menjawab pertanyaanku dengan ringan.  

"Seperti mereka---takut tertular penyakitku," aku menandaskan. Alan mengangkat dagunya sedikit.

"Miranti, dengan cara apa aku akan tertular penyakitmu? Kalau hanya duduk berdampingan, berbicara, bersentuhan tangan atau nonton bareng bersamamu, kukira tidak ada yang perlu ditakutkan," Alan menatapku serius. Berusaha meyakinkanku.

"Kamu cowok pemberani," aku balas menatapnya. Kusembunyikan rasa haru atas kata-katanya sembari memujinya dalam hati---Alan bukan saja teman yang baik, tapi ia juga sangat cerdas. Ia tahu banyak tentang seluk beluk penyakit HIV.  Ia tak segan menjelaskan padaku bagaimana virus itu bisa terjangkit dan hal-hal apa saja yang tidak perlu dikhawatirkan.

"Selama kita tidak melakukan hubungan seksual dengan penderita HIV, kukira semuanya akan aman-aman saja," Alan melanjutkan.

"Itu yang pernah terjadi pada diri Mamaku, Alan. Mama tidak tahu kalau Papa mengidap penyakit mengerikan itu. Papa tidak mau berterus terang pada Mama. Dan Mama tertular saat mengandungku," aku menelan ludah---lebih tepatnya menelan kegetiran.

"Itu dia, Miranti. Kejujuran sangat penting bagi setiap pasangan sebelum mereka menikah. Semuanya demi kebaikan bersama agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari," Alan mengembangkan senyum manisnya.

"Eh, kenapa kita jadi membicarakan persoalan orang dewasa, ya?" aku tersipu.

"Tidak ada salahnya kita membahas kehidupan orang dewasa, Miranti. Kita perlu banyak belajar dari pengalaman mereka. Dengan begitu sebagai generasi mendatang, kita bisa lebih berhati-hati," Alan masih mengulum senyum.

Sejenak suasana menjadi hening. Entah apa yang tengah berkecamuk di dalam pikiran kami. 

Sampai akhirnya Alan menatapku lagi. 

"Miranti...kau menyukai kejujuran bukan?" ia bertanya ragu. Aku mengangguk.

"Meski---kejujuran itu terdengar menyakitkan?" ia menegaskan. Aku mengangguk lagi. 

"Miranti..." Alan menggeser duduknya,"aku ingin jujur padamu bahwa aku... sama sepertimu---terinfeksi oleh penyakit itu melalui jarum tatto." Alan menyibak sedikit lengan kemejanya.

Langit senja mendadak muram. Tidak lagi terlihat belibis terbang beriringan melintasi cakrawala menyongsong datangnya musim.

Kuulurkan tangan kurusku. Kupastikan tidak ada keraguan saat menyentuh pundak Alan.

Kami saling berpeluk. Erat.

"ODHA,  kalian  pasti  bisa  melewati  semua  ini,  bukan?"

Itu suara senja. 

Berbisik. 

Menggelitik.

***

Malang, 01 Nopember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Selamat Hari AIDS Sedunia...mari bergandeng tangan, jangan kucilkan mereka.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun