Nyonya Missetzis agak terkejut ketika perancang busana ternama itu mendatangi rumahnya dan menyodorkan selembar pola gaun ke arahnya.
"Ini rancangan gaun yang harus Anda jahit, Madam. Waktu Anda cukup banyak. Jadi tolong kerjakan sebaik mungkin."
Nyonya Missetzis tak perlu banyak bertanya. Cukup menganggukkan kepala sedikit sebagai pertanda ia menyanggupi.
Selama berhari-hari perempuan tua itu berkutat dengan pekerjaannya---dibantu oleh seorang asisten, Rose, yang juga pendiam---sama seperti dirinya. Keduanya bekerja giat, tanpa bicara, tanpa berhenti.Â
Ini mendekati akhir pekan ketiga. Gaun yang terbuat dari sutra tafetta berwarna putih gading itu sudah mulai berbentuk. Korset yang digarap Rose pun mendekati rampung. Korset berwarna senada dengan warna gaun, berbentuk huruf V menyiratkan---pemakainya tentulah seorang wanita yang istimewa, yang memiliki lekuk tubuh sangat bagus.
"Anda terlihat semakin bungkuk, Nyonya Missetzis," perancang busana itu mengagetkannya, membuat Nyonya tua itu gugup dan mengembangkan senyum samar. Dalam hati ia membenarkan. Proses pengerjaan gaun---yang entah akan dikenakan oleh siapa (ia memang tidak berhak untuk tahu)--sungguh amat memforsir tenaganya. Berjam-jam ia mesti memperhatikan secara detil setiap tisikan, memastikan setiap jelujur jahitan sudah halus dan rapi. Dan ia tampak sangat puas. Setidaknya begitu yang terpancar dari raut wajahnya saat memandangi gaun mewah itu dipajang hati-hati oleh Rose pada tubuh  mannequin di ruang tamu rumahnya yang sempit.
"Sepertinya gaun ini akan segera rampung. Bukan begitu Nyonya Missetzis? Aku akan kembali ke sini dua hari lagi untuk mengambilnya. Â Anda akan menerima upah, dan, mm...sekaligus akan kuberi tahu pada Anda siapa pemilik gaun istimewa ini."
Lagi-lagi Nyonya Missetzis mengangguk. Anggukan berulang yang membuat punggungnya terlihat semakin renta dan bungkuk.
***
Langit pagi baru saja menuang hujan. Diana berlari-lari kecil meninggalkan koridor bangunan tua tempat ia mengajar. Ia tampak sangat terburu. Ada kegiatan sosial lain yang menunggunya. Yakni bertemu para penyandang tuna grahita akibat korban perang yang ditampung di sebuah barak terpencil.
Tapi sebelum itu ia harus pulang mengambil beberapa barang titipan dari para donatur yang amat peduli pada kegiatan kemanusiaan.Â