Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tom, Sudah Terlambat, Sayang

18 November 2017   07:34 Diperbarui: 18 November 2017   08:55 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.beritaplatmerah.com

Berulang kali Tom mengeluhkan dada sebelah kirinya nyeri. Kusarankan ia memeriksakan diri ke dokter langganan kami, dan ia menurut. Dari diagnosa dokter Tom dinyatakan terkena gejala penyempitan jantung.

"Tidak apa-apa, Tom. Masih gejala. Kau bisa memulainya dari awal. Kembali menjalani pola hidup sehat dan agak mengurangi kesibukanmu," aku mencoba menghiburnya. Tom hanya diam.

Tom menikahiku lebih dari dua puluh tahun. Jadi aku tahu benar bagaimana sifat dan watak yang dimilikinya. Ia type pria tak kenal kata menyerah. Cenderung ambisius. Jika menginginkan sesuatu, ia harus mendapatkannya---tidak peduli dengan cara apa pun.

Itu yang terkadang membuatku ngeri. Jujur aku kerap tidak sejalan dengan pikiran Tom. Jika sampai detik ini aku masih bertahan mendampinginya, itu karena aku sangat mencintainya. Cinta yang membuatku senantiasa memberinya pemakluman.

Meski begitu aku kerap menaruh harap, suatu hari Tom akan berubah. Menjadi Tom yang lebih baik, yang menanggalkan segala atribut kebohongan dalam dirinya.

Tapi ternyata Tom tetaplah Tom. Ia teramat bangga dan enjoy menikmati dunia yang telah dipilihnya.

"Jangan terlalu menguras ambisi, Tom. Tidak baik baik kesehatanmu. Kehidupan kita sudah lebih dari cukup. Jadi berhentilah dari petualanganmu---termasuk menyalahgunakan jabatanmu."

 "Apa yang kulakukan demi kebahagiaan keluarga, Anna. Kau harus mengerti itu." Ia selalu berkilah begitu. Mengatasnamakan keluarga.

"Kami---aku dan anak-anakmu sudah cukup bahagia dengan keadaan kita yang sekarang. Kau tidak perlu bersusah payah menambah penghasilan dengan cara-cara yang tidak halal. Kami tidak mau suatu hari nanti kau berurusan dengan pihak hukum. Kami sangat menyayangimu, Tom."

"Tidak halal? Dari mana kau tahu penghasilanku tidak halal?" Tom tampak tersinggung dengan ucapanku.

"Dari cara-caramu mendapatkannya. Maaf jika aku telah lancang..." aku menghentikan kalimatku, sebab Tom tidak lagi mendengarkan, ia memilih pergi meninggalkan ruangan.

***

Tom kini terbaring di Rumah Sakit. Beberapa selang terpasang pada hidung dan pergelangan tangannya.

Kukira dengan cara ini Tuhan menegurnya.

"Bapak hanya boleh makan bubur, Bu," seorang suster meletakkan nampan di atas meja.

"Terima kasih, Suster," aku berbasa-basi. Suster  tersenyum kemudian berlalu pergi.

"Kau ingin kusuapi sarapan dulu, Tom?" aku mendekatkan wajah, berbisik di telinga Tom. Ia mengangguk.

"Anna, apakah aku akan mati?" ia bertanya tiba-tiba. Membuat tanganku yang bergerak hendak meraih piring berhenti sejenak.  

"Mati dan hidup seseorang berada dalam  ketentuanNya, Tom. Kita tidak berhak tahu,"  aku menatapnya.

"Tolong jawab dengan jujur, Anna. Menurutmu apakah aku akan segera mati? Bagaimana kalau aku mati? Apakah aku akan...."

"Habiskan dulu buburnya. Setelah itu aku akan menjawab pertanyaanmu," aku mendekatkan sendok berisi bubur ke arah mulutnya. 

Beberapa menit  suasana hening. Tom lahap menghabiskan sarapannya. 

Pada suapan terakhir ia terbatuk-batuk.

"Anna, dengar! Aku tidak mau mati!" ia berseru serak, mencengkeram erat pergelangan tanganku. Wajahnya pucat pasi.

Hati-hati aku melepas cengkeramannya. Berdiri dari dudukku. Menyelipkan plastik kecil ke dalam saku celana---yang beberapa menit lalu---tanpa sepengetahuan Tom, isinya sudah kububuhkan di atas bubur sarapannya.

"Tom, sudah terlambat, sayang. Sebentar lagi kau akan mati," aku berkata seraya mencabut selang-selang yang terpasang pada tubuhnya.

Tom mengejang. Kedua bola matanya melotot. 

Sepertinya Tom marah besar padaku.

***

Malang, 18 Nopember 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun