Marwoto sungguh enggan pulang ke rumah. Apalagi mesti bertemu Aisyah. Ia sudah kehilangan rasa terhadap perempuan yang dinikahinya lebih dari sepuluh tahun itu.
Entah apa yang menyebabkan ia seperti itu. Semenjak bertemu Yulia? Mungkin. Bisa jadi janda dengan satu anak bertubuh mungil itu memang telah berhasil menguras habis energi dalam kepalanya. Pikirannya selalu tertuju pada perempuan itu. Dan anehnya, begitu melihat Aisyah, ia merasa istrinya itu teramat menjemukan. Meski menurut pendapat sebagian orang, Aisyah adalah perempuan yang manis dan lembut.
"Mar, kalau mau makan sate, tidak usah bawa-bawa kambingnya sekalian," sindir Haji Iskandar, teman seperjuangan, sama-sama perantau yang sudah menganggap Marwoto seperti anaknya sendiri.
"Apakah Aisyah wadul  sesuatu kepada Abah?" Marwoto menatap curiga pada lelaki sepuh berpeci putih itu. Haji Iskandar menggeleng.
"Istrimu itu sangat pendiam. Ia tidak pernah bilang apa-apa padaku. Tapi aku tahu kehidupan rumah tangga kalian sedang bermasalah."
Marwoto tersenyum kecut. Ia tahu kemana arah pembicaraan Haji Iskandar.
"Abah, bolehkan saya menyarankan sesuatu? Sebaiknya Abah tidak usah terlalu dalam mencampuri urusan kami."
"Aku sekadar mengingatkan, Mar. Dalam Islam diperbolehkan laki-laki menikahi lebih dari satu perempuan. Lalu kenapa kamu tidak berterus terang saja, meminta baik-baik  pada istrimu itu untuk mengizinkanmu berpoligami?" Haji Iskandar berdehem. Wajah Marwoto seketika memerah.
"Asal Abah tahu...saya sudah minta izin pada Aisyah. Tapi ia menentang."
"Maksudmu?"
"Ia memilih bercerai dari saya ketimbang dipoligami."