Dear mantan...
Entah mengapa hari ini tiba-tiba aku ingin memasak semangkuk sup merah kesukaanmu. Sup yang benar-benar merah---yang lebih banyak irisan tomat ketimbang wortel atau fillet dada ayam.
Pagi-pagi buta aku mengayun langkah menuju pasar yang letaknya tidak seberapa jauh. Hanya berkisar beberapa depa dari rumah kita. Rumah kita? Oh, itu dulu. Sekarang rumah itu hanya ada aku yang ditemani sunyi dan serpih-serpih kenangan yang kau tinggalkan.
Dear mantan...
Kembali ke sup merah. Aku mesti mempercepat langkah. Sebab jika tidak aku bisa kehabisan tomat-tomat segar yang dijual oleh lelaki tua langgananku itu---lelaki yang kerap mengeluhkan punggungnya ngilu---yang suka memanggilku dengan sebutan wong ayu, walau aslinya aku tidak ayu. Kalau aku ayu, mana mungkin kau pergi begitu saja meninggalkanku?
"Lama tidak melihatmu, wong ayu, kemana saja? Masih suka memasak sup merah?" lelaki tua itu menyapaku.
"Masih. Tapi kali ini aku ingin membuat sup yang benar-benar merah. Bisakah Bapak memberitahu resepnya?"
Dear mantan...
Sesampai di rumah aku tidak ingin membuang-buang waktu. Gegas kucuci beberapa butir tomat, seruas wortel dan sedikit fillet dada ayam. Semua bahan kuiris berbentuk dadu. Bentuk yang dulu paling engkau sukai.
"Pipimu bersemu dadu."
Itu rayu-rayumu yang paling membekas di hatiku.
Oh, air yang kujerang sudah mendidih. Semua bahan harus segera kumasukkan ke dalam panci.
Dear mantan yang hingga kini masih sulit kulupakan...
Sup merah telah terhidang. Tidakkah kau ingin mencicipinya? Atau sekedar melihatnya? Sup yang kumasak kali ini benar-benar istimewa. Sangat istimewa. Aku memasaknya seperti saran lelaki tua penjual sayur langgananku itu.Â
"Masukkan irisan hatimu. Maka kau tidak akan lagi mengenang-ngenang dia---mantan suamimu yang brengsek itu."
***
Malang, 04 Nopember 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H