Ya---aku jatuh cinta padanya. Pada Mayu. Ia perempuan cantik dan lembut. Memiliki senyum yang menawan sekaligus menenangkan. Jauh berbeda dengan istriku yang lebih sering menunjukkan wajah memberengut serta banyak menuntut. Mayu tidak seperti itu. Ia lebih banyak mendengarkanku, memahami keluh kesahku. Itu yang sangat aku suka darinya.
Aku ini seorang laki-laki berumur. Suami yang telah lama kehilangan bahagia. Aku tidak lagi mendapat perhatian dari orang-orang terdekatku, bahkan dari istriku sendiri. Itulah sebab, ketika melihat Mayu untuk pertama kali, aku langsung jatuh cinta.
Apakah aku salah?
Mayu usianya masih belia. Mungkin selisih puluhan tahun dibanding umur istriku. Tubuhnya masih ranum. Wajahnya masih kencang. Belum berhiaskan kerut merut.
Ia suka berdiri menatapku, setiap pagi--- atau menjelang sore saat aku berangkat dan pulang dari kerja. Dari balik kaca toko ia suka mengintipku, memamerkan senyumnya yang manis. Dan aku selalu menyempatkan diri menghampirinya meski hanya beberapa menit. Menyentuh lengannya yang halus, meremas jemarinya atau sekadar menatap matanya yang bening.
Seperti sore itu ia sudah menungguku, di tempat yang sama.
"Aku ingin bercerita banyak padamu, Mayu," aku berdiri di sampingnya. Mayu mengangguk. Ia memang begitu, selalu mengangguk setiap kali aku menyampaikan hal-hal yang mengganjal dalam pikiran atau hatiku.Â
Kukatakan sekali lagi, Mayu berbeda jauh dengan istriku.
"Sebaiknya kita mengobrol sambil minum kopi," aku membimbingnya menuju pojok toko. Ada dua kursi dan satu meja kecil di sana. Kami duduk berhadapan.
"Semalam kami bertengkar lagi. Istriku, entah mengapa akhir-akhir ini pemarah sekali. Mungkin efek baru melahirkan? Kukira tidak, dulu usai melahirkan anak pertama dan anak kedua, ia baik-baik saja." Aku mulai bercerita. Lebih tepatnya curhat. Mayu diam mendengarkan.
"Dan yang lebih parah, ia menolak tidur bersamaku. Kau tahu, Mayu? Penolakan istri bagi seorang suami adalah suatu penghinaan. Dan penghinaan itu akan berbuah keengganan. Aku---jadi enggan menyentuh istriku," kukira Mayu mulai paham apa yang kumaksudkan. Kulihat senyumnya kian mengembang.
"Mayu, sebaiknya aku segera mengambil keputusan...untuk segera mempersuntingmu. Aku ingin membawamu pulang ke rumah," aku menatapnya dengan mata berbinar. Aku tahu Mayu tidak akan menolak keinginanku.
Kukeluarkan sebentuk cincin dari saku celana. Lalu kusematkan di jari manisnya yang lentik.
"Hari ini juga, aku melamarmu," bisikku lega.
***
Pada Minggu pertama di awal bulan, aku benar-benar memboyong Mayu pulang ke rumah. Aku tidak peduli teriakan histeris istriku. Juga jeritan heboh kedua anak perempuanku yang mulai menanjak remaja. Aku tetap melenggang, membimbing Mayu masuk ke dalam kamar.
Mayu menurut saja ketika tubuhnya kurebahkan di atas ranjang. Ia sama sekali tidak merasa terganggu oleh hingar bingar suara istri dan anak-anakku.
"Buka pintunya Suke! Buka!" istriku menggedor pintu berulang-ulang. Kukira ia tidak akan berhenti sebelum pita suaranya putus atau daun pintu kamar kami tumbang.
"Kau dengar sendiri kan, Mayu? Begitulah keseharianku. Tinggal bersama perempuan nyinyir, hidupku bagai di dalam neraka," aku merebah di sisi Mayu. Kupeluk ia. Bersamanya aku ingin melupakan sejenak keruwetan hidupku.
Hari sudah malam ketika suara yang menyertai ketukan pada pintu berubah. Bukan suara istriku lagi. Melainkan suara berat dan tegas.
"Pak Suke, kami dari pihak kepolisian. Silakan membuka pintu. Jika tidak kami akan mendobrak dengan paksa," suara berat itu terdengar jelas, membuatku bergegas mengenakan celana kolor yang tercecer di ujung kaki Mayu.
Dengan lunglai aku memutar anak kunci. Begitu daun pintu terbuka, dua orang polisi sudah menghadangku.
"Anda bisa memberi keterangan selengkapnya di kantor polisi," salah seorang petugas menunjukkan surat penangkapan tepat di depan hidungku. Aku tidak berkutik.
"Boleh saya pamit sejenak pada Mayu?" aku menatap kedua polisi itu bergantian. Mereka mengangguk.
Mayu masih meringkuk manja di atas ranjang. Aku mencium keningnya. Membisikkan kata-kata mesra di telinganya.
"Demi untuk membawamu pulang, Mayu, aku terpaksa mengambil uang di dalam brankas milik kantorku. Tapi tenanglah, aku akan mempertanggungjawabkannya. Hanya saja---satu hal, jika nanti aku dijebloskan ke dalam penjara, maukah kau menemaniku?"
Mayu tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
Ya, boneka besar bernama Mayu itu, yang baru saja kubeli dan kukencani memang dirancang untuk selalu tersenyum.
Sekali lagi---ia memang jauh berbeda dengan istriku.
***
Malang, 12 Oktober 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H