Pulang adalah panggilan jiwa. Sejauh apa pun kau pergi, berpetualang atau merantau, suatu hari pasti rindu pulang. Itu yang tengah menderaku akhir-akhir ini. Aku ingin pulang. Pulang ke kampung halamanku, berhambur ke pelukan kedua orang tuaku--itu pun jika mereka masih ada dan masih mau menerimaku.
Masih ada? Ya, aku tidak yakin kedua orang tuaku masih ada, masih hidup. Sebab ketika aku pergi dua tahun lalu, mereka terlihat begitu renta dan sakit-sakitan.
Malam usai mengemasi barang-barang---yang perlu-perlu saja, aku menghadap induk semang untuk pamit.
"Sudah kau pikirkan baik-baik keputusanmu?"
"Sudah."
"Baiklah. Aku hanya bisa mendoakan, semoga kepulanganmu berjalan lancar."
Hanya itu. Tidak ada percakapan lagi. Tapi aku merasa senang, setidaknya masih ada orang lain yang bukan siapa-siapaku, sudi mendoakanku.
Malam itu aku benar-benar mempersiapkan diri untuk pulang. Pulang menuju rumah tinggalku yang sederhana. Yang dindingnya, dulu saat kutinggalkan hanya terbuat dari anyaman bambu. Juga belum tersambung listrik di dalamnya.
"Kau tidak harus pergi jauh untuk mendapatkan pekerjaan, Tri," tukas Ayah---kala itu, mencoba mempengaruhiku. Tapi tekadku sudah bulat, meninggalkan rumah adalah pilihan terbaik. Iming-iming bekerja di kota besar dengan gaji menggiurkan membuatku mengabaikan segala bujuk rayu. Termasuk airmata Ibu.
"Kalau kau pergi, siapa yang akan merawat kami? Setidaknya merawat pekuburan kami---" isak Ibu di sela-sela waktu keberangkatanku. Aku hanya diam. Tidak memiliki jawaban sepatah kata pun. Â
Perjalanan melelahkan berjam-jam duduk di dalam kereta terbayar sudah. Aku sampai di tanah kelahiran ketika hari beranjak siang. Aku memilih berjalan kaki, meski dengan langkah terseok akibat salah mengenakan sepatu. Harusnya aku tidak memakai sepatu high heels.