Siang itu Mbak Yana menelpon, memintaku untuk menjemput Ayah di bandara.
"Bisa saja aku memesankan taksi, Pri. Atau menyuruh sopirku yang berangkat ke bandara. Tapi kupikir Ayah pasti lebih suka jika kau sendiri yang menjemputnya."
Aku tak kuasa menolak perintah Mbak Yana, terpaksa menyanggupi. Meski sebenarnya pekerjaanku di kantor siang itu sedang sibuk-sibuknya.
"Baiklah, Mbak. Tapi aku hanya bertugas menjemputnya saja, kan? Maksudku, Ayah tetap akan kuantar ke rumah Mbak Yana seperti biasanya," aku memastikan.
"Iya, kau hanya menjemputnya saja, Pri," Mbak Yana menegaskan.
Sepanjang perjalanan aku mengeluh. Kalau saja Ayah sedikit manut, tidak rewel, tentu keadaannya tidak akan serepot ini. Khususnya aku, harus wira-wiri  bolak balik menjemputnya di bandara setiap kali ia berkeinginan untuk datang. Bukan sekali dua kali aku dan Mbak Yana memintanya untuk menetap saja di Jakarta. Kami sudah menawarkan. Ayah bisa memilih mau tinggal bersama siapa, aku atau Mbak Yana. Tapi Ayah selalu saja punya alasan untuk menolak.
"Aku tidak bisa jauh-jauh dari makam Ibumu," itu salah satu alasan yang paling sering Ayah sampaikan. Alasan yang menurutku terlalu melankolis.
Bukan Jakarta namanya jika tidak macet. Aku terjebak di jalanan hampir dua jam. Tiba di bandara ketika matahari sudah sedikit condong. Kulihat Ayah berdiri menungguku dengan kopor lusuh tergeletak tak jauh dari kaki tuanya.
Baru juga hendak mengangkat kopor milik Ayah, ponsel di dalam saku kemejaku bergetar.
"Ya, Rin. Belum. Ini juga baru sampai di bandara. Kenapa? Ada kiriman barang yang datang? Okey, tangani dulu. Sebentar lagi aku meluncur."
Aku melirik ke arah Ayah. "Aku terburu. Bisakah Ayah bergegas masuk?" pintu mobil kubuka lebar-lebar---sedikit kasar.