Pesan itu tidak pernah dibacanya. Dibiarkan begitu saja menumpuk dalam memori ponselnya. Tersebab ia masih marah, hatinya masih diliputi rasa dendam. Ia belum bisa menerima kenyataan dengan ikhlas.
"Kau yakin tidak ingin menghadiri pernikahan anakmu, Ki?" tegur Hasim, teman sekantornya. Lelaki bernama Suki itu menggeleng tegas.
"Aku sudah memutuskan, tidak akan datang sampai kapan pun!"
Hasim mengernyit alis. Ia tidak suka mendengar kata-kata sesumbar Suki. Sebab Hasim juga seorang Ayah, ia tahu, seorang Ayah wajib menjadi wali bagi anak gadisnya kelak jika ia sudah cukup umur dan siap menikah.
"Kau akan menanggung dosa karena melalaikan kewajibanmu," Hasim berdiri, kecewa berat karena tidak berhasil membujuk hati Suki yang menurutnya---jauh lebih keras dari batu karang di lautan.
Sebelum pergi, Hasim sengaja mengucapkan kata-kata yang membuat telinga Suki panas dan memerah. "Jangan karena dendam kepada mantan istrimu, lantas anak gadismu kau jadikan sasaran kemarahanmu. Itu sungguh tidak pantas dilakukan oleh seorang laki-laki. Kecuali jika laki-laki itu seorang pecundang dan pengecut."
Hasim pun berlalu tanpa menoleh lagi.
***
Riana berlari-lari kecil menembus gerimis melewati gang sempit menuju rumahnya. Wajahnya tampak lelah. Map berwarna merah yang tertangkup di dadanya terlihat kusut masai.
Halimah berdiri di ambang pintu menyongsong anak gadisnya itu dengan pandang was-was.
"Surat-surat sudah lengkap, Bu. Tinggal menunggu tanda tangan dari Ayah. Tapi Ayah sangat sulit dihubungi," Riana mengeluh sembari menghempaskan tubuh penatnya di atas sofa. Halimah terdiam. Apa yang selama ini dikhawatirkannya akhirnya terjadi juga.
"Riana harus sabar. Nanti Ibu akan coba menghubungi teman sekantor Ayahmu, barangkali ada yang bisa membantu menyampaikan pesan agar Ayahmu sesegera mungkin menemuimu," Halimah berusaha membesarkan hati putrinya.
"Kalau Ayah tidak bersedia menjadi wali bagaimana, Bu?" Riana menatap Ibunya dengan pandang murung. Halimah tidak menyahut. Riana menggelosohkan tubuh, menyembunyikan wajahnya di balik map lusuh yang masih dipegangnya.
Diam-diam gadis itu menangis.
Halimah duduk terdiam di samping putrinya. Ia ikut merasa sedih dan sangat menyesalkan tindakan Suki. Tak seharusnya mantan suaminya itu bersikap sedemikian ekstrim. Meski telah bercerai, toh Suki masih memiliki tanggungjawab terhadap anak-anak mereka. Tidak lantas acuh tak acuh, melepas kepedulian. Apapun yang terjadi antara ia dan Suki, anak tetaplah anak. Tidak ada mantan anak bukan?
Hati Halimah mulai diliputi rasa marah. Ia bertekad, sedapat mungkin harus bisa bertemu Suki. Harus. Sebelum hari pernikahan Riana keburu tiba.
***
Tidak ada seorang pun yang bisa menghindari takdir. Sekalipun orang itu bersembunyi di ujung dunia ataupun di kolong langit. Jika Tuhan berkehendak mempertemukan, maka bertemulah. Seperti Suki dan Halimah, sore itu tanpa sengaja mereka bersua di suatu tempat.
"Kau boleh menghindariku, menyimpan dendam kesumat terhadapku. Tapi kumohon, jangan kau sakiti hati anak-anakmu. Mereka sudah cukup terluka akibat perceraian kita," Halimah menatagkan diri bicara.
Suki diam membisu.
"Kuingatkan sekali lagi, anak gadismu sebentar lagi akan menikah. Ia butuh kehadiranmu sebagai wali."
Suki masih membisu.
"Meski aku berharap amat sangat padamu, tapi aku tidak akan memaksamu. Kau punya hak untuk menolak sesuai dengan keinginanmu. Tapi---jika hal itu benar-benar kau lakukan, aku sudah punya jawaban andai Riana bertanya padaku, mengapa Ayahnya tercinta tidak datang di hari pernikahannya," Halimah menatap tajam ke arah mantan suaminya.Â
"Apa yang akan kau katakan?" akhirnya Suki buka suara.
"Riana, Â Ayahmu sudah mati. Tapi tidak usah khawatir, ada wali hakim yang siap menikahkanmu."
***
Malang, 13 September 2017
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H