"Riana harus sabar. Nanti Ibu akan coba menghubungi teman sekantor Ayahmu, barangkali ada yang bisa membantu menyampaikan pesan agar Ayahmu sesegera mungkin menemuimu," Halimah berusaha membesarkan hati putrinya.
"Kalau Ayah tidak bersedia menjadi wali bagaimana, Bu?" Riana menatap Ibunya dengan pandang murung. Halimah tidak menyahut. Riana menggelosohkan tubuh, menyembunyikan wajahnya di balik map lusuh yang masih dipegangnya.
Diam-diam gadis itu menangis.
Halimah duduk terdiam di samping putrinya. Ia ikut merasa sedih dan sangat menyesalkan tindakan Suki. Tak seharusnya mantan suaminya itu bersikap sedemikian ekstrim. Meski telah bercerai, toh Suki masih memiliki tanggungjawab terhadap anak-anak mereka. Tidak lantas acuh tak acuh, melepas kepedulian. Apapun yang terjadi antara ia dan Suki, anak tetaplah anak. Tidak ada mantan anak bukan?
Hati Halimah mulai diliputi rasa marah. Ia bertekad, sedapat mungkin harus bisa bertemu Suki. Harus. Sebelum hari pernikahan Riana keburu tiba.
***
Tidak ada seorang pun yang bisa menghindari takdir. Sekalipun orang itu bersembunyi di ujung dunia ataupun di kolong langit. Jika Tuhan berkehendak mempertemukan, maka bertemulah. Seperti Suki dan Halimah, sore itu tanpa sengaja mereka bersua di suatu tempat.
"Kau boleh menghindariku, menyimpan dendam kesumat terhadapku. Tapi kumohon, jangan kau sakiti hati anak-anakmu. Mereka sudah cukup terluka akibat perceraian kita," Halimah menatagkan diri bicara.
Suki diam membisu.
"Kuingatkan sekali lagi, anak gadismu sebentar lagi akan menikah. Ia butuh kehadiranmu sebagai wali."
Suki masih membisu.