Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ibu Suamiku [3]

10 September 2017   12:30 Diperbarui: 12 September 2017   14:52 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Woman | The accidental blog..-wordpress.com

Aku terpekur di pojok ruangan. Dadaku terasa sesak. Angel melemparkan ponsel di tangannya tepat ke atas pangkuanku. "Coba katakan sesuatu pada suamimu kalau kau berani," ia menantangku sembari tersenyum sinis.  

Tanganku gemetar saat menempelkan benda kecil segi empat itu di telingaku.

"Arin? Apa yang terjadi? Kenapa kau tega menjegal Ibu?" terdengar lamat-lamat suara Mas Adel. Nadanya penuh dengan tekanan.

"Mas, kau percaya begitu saja dengan kata-kata sepupumu yang cantik itu? Kau kira aku akan melakukan tindakan sebodoh itu?" suaraku tercekat. Aku agak tersinggung dengan tuduhan Mas Adel yang tidak mengkonfirmasi terlebih dulu kebenarannya. Wajahku tiba-tiba saja terasa panas. Pandanganku beralih pada sosok Ibu mertua yang masih terlentang tak bergerak. Gegas kumatikan ponsel, kubiarkan tergeletak begitu saja di atas lantai.

"Sebentar lagi kau akan diusir oleh Adel dari rumah ini karena telah mencelakai Tante," Angel tersenyum penuh kemenangan. Aku beringsut menghampiri Ibu mertua.

"Jangan sentuh Tanteku!" Angel merangsek maju, menepis lagi tanganku dengan kasar. Kali ini aku melawan. Membalas tepisannya dengan cengkeraman kuat.

"Apa hakmu melarangku menyentuh Ibu suamiku? Sejak tadi kau hanya ribut tanpa melakukan apa-apa. Minggirlah, aku ingin menolong Ibuku. Dan satu lagi, jaga mulutmu agar tidak berteriak-teriak seperti orang kesurupan," ujarku tegas seraya melepaskan cengkeramanku. Angel seketika terdiam.

Aku merengkuh tubuh yang masih diam itu, meletakkan kepalanya di atas pangkuanku dan menyentuh wajahnya yang keriput. Terasa dingin.

"Apa yang Ibu rasakan?" bisikku perlahan. Mata Ibu mertua yang sebelumnya terpejam, perlahan terbuka.

"Hanya pusing sedikit."

"Bisa kau bantu ambilkan air putih?" aku menoleh ke arah Angel yang baru saja berdiri dari jongkoknya. Gadis itu mengernyitkan kedua alis matanya, menatapku nanar. "Kau seenaknya saja memerintahku!" 

"Simpan dulu caci maki yang tidak berguna itu. Kau mau membantu tidak?" aku menunggu beberapa saat lamanya. Setelah melihat tak ada reaksi apa-apa dari Angel, aku meletakkan kembali kepala Ibu mertua perlahan di atas lantai. Aku berdiri dan bergegas menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. 

Usai menyeruput sedikit air menggunakan sedotan,wajah Ibu mertua tampak memerah, tidak memucat lagi.  Aku menarik napas lega.

Ponselku berdering nyaring. Aku membiarkannya.

"Angkatlah, Rin. Itu pasti dari Adel," Ibu mertua berkata lirih. Aku terdiam.

"Kau masih marah sama Ibu, ya, Rin?" Ibu mertua menatapku dengan pandang sayu. Aku menggeleng. Entahlah. Aku sendiri bingung menerjemahkan perasaanku. Yang kutahu, tiba-tiba saja aku ingin menangis.

Tangan tua itu mendadak terulur ke arahku, menyentuh kedua pipiku yang tirus. "Maafkan perlakuan Ibu selama ini ya, Rin. Sikapku terlalu keras padamu. Apa yang Ibu lakukan semata-mata karena rasa sayang. Sekaligus rasa khawatir, kau akan merebut cinta Adel terhadap Ibu." Mata perempuan terkasih itu berkaca-kaca. Aku memeluknya kian erat. Aku sangat paham bagaimana perasaan Ibu mertuaku. 

"Ibu, saya tidak akan merebut kasih sayang Mas Adel terhadap Ibu. Karena Ibu mas Adel adalah Ibuku juga," aku mencoba menenangkan hati perempuan tua itu.

"Rin, bisa memapah Ibu pindah ke dalam kamar?" Ibu mertua membisikiku. Aku mengangguk. 

Kami berjalan tanpa suara. Melewati Angel yang berdiri mematung dengan mata tak lepas mengawasi kami. Kukira gadis itu tidak akan berani lagi mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan setelah melihat bagaimana Ibu mertua merangkul pundakku dengan sangat erat. 

Aku membantu Ibu mertua naik ke atas ranjang. Menyusun bantal-bantal sedemikian rupa agar beliau bisa merebah dengan nyaman.

Baru saja hendak menutupi tubuh Ibu mertua dengan selimut, seseorang menyentuh pundakku.

"Mas Adel?" aku terperangah. Suamiku, ia sudah berdiri di belakangku dengan senyum yang---sungguh membuatku ingin memeluk dan menyusupkan kepalaku berlama-lama di atas dadanya yang bidang.

Tamat

***

***

Malang, 10 September 2017

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun