"Simpan dulu caci maki yang tidak berguna itu. Kau mau membantu tidak?" aku menunggu beberapa saat lamanya. Setelah melihat tak ada reaksi apa-apa dari Angel, aku meletakkan kembali kepala Ibu mertua perlahan di atas lantai. Aku berdiri dan bergegas menuju dapur untuk mengambil segelas air minum.Â
Usai menyeruput sedikit air menggunakan sedotan,wajah Ibu mertua tampak memerah, tidak memucat lagi. Â Aku menarik napas lega.
Ponselku berdering nyaring. Aku membiarkannya.
"Angkatlah, Rin. Itu pasti dari Adel," Ibu mertua berkata lirih. Aku terdiam.
"Kau masih marah sama Ibu, ya, Rin?" Ibu mertua menatapku dengan pandang sayu. Aku menggeleng. Entahlah. Aku sendiri bingung menerjemahkan perasaanku. Yang kutahu, tiba-tiba saja aku ingin menangis.
Tangan tua itu mendadak terulur ke arahku, menyentuh kedua pipiku yang tirus. "Maafkan perlakuan Ibu selama ini ya, Rin. Sikapku terlalu keras padamu. Apa yang Ibu lakukan semata-mata karena rasa sayang. Sekaligus rasa khawatir, kau akan merebut cinta Adel terhadap Ibu." Mata perempuan terkasih itu berkaca-kaca. Aku memeluknya kian erat. Aku sangat paham bagaimana perasaan Ibu mertuaku.Â
"Ibu, saya tidak akan merebut kasih sayang Mas Adel terhadap Ibu. Karena Ibu mas Adel adalah Ibuku juga," aku mencoba menenangkan hati perempuan tua itu.
"Rin, bisa memapah Ibu pindah ke dalam kamar?" Ibu mertua membisikiku. Aku mengangguk.Â
Kami berjalan tanpa suara. Melewati Angel yang berdiri mematung dengan mata tak lepas mengawasi kami. Kukira gadis itu tidak akan berani lagi mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan setelah melihat bagaimana Ibu mertua merangkul pundakku dengan sangat erat.Â
Aku membantu Ibu mertua naik ke atas ranjang. Menyusun bantal-bantal sedemikian rupa agar beliau bisa merebah dengan nyaman.
Baru saja hendak menutupi tubuh Ibu mertua dengan selimut, seseorang menyentuh pundakku.