Entah sudah berapa kali Duraji menyeka peluh di wajahnya. Udara gerah memaksanya berulang menenggak air putih di dalam botol kecil yang sengaja ia bawa dari rumah. Dan setiap kali menenggak air itu, ia teringat lagi kata-kata Rusmini, istrinya.
"Apa kita mau miskin terus menerus seperti ini, Kang?"
Duraji membanting botol minum yang sudah kosong. Hatinya semakin kalut. Ia ingin memarahi Rusmini yang menurutnya sudah mulai kehilangan sabar itu. Tapi ia tidak berani. Bukan apa-apa, sebab sejak mereka menikah, sekalipun Duraji belum pernah menyenangkan hati istrinya itu.
Duraji mendesah.
Seorang perempuan, bertubuh subur, menenteng tas belanjaan menghampiri Duraji.
"Bisa antar ke Jalan Mawar, Pak?"
Duraji mengangguk. Membuka plastik penutup becak dengan sigap, mempersilakan perempuan itu naik. Kemudian ia sendiri mencengklak becaknya dengan penuh semangat.
Jalan Mawar tidak seberapa jauh. Duraji mengantongi ongkos hanya sepuluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli sekilo beras. Sedang untuk lauk dan keperluan lainnya, Duraji mesti menunggu ada penumpang lagi.
Duraji kembali mangkal di tempatnya semula, di bawah pohon Mahoni di pinggir pertigaan jalan. Ia memang mengais rezeki di situ. Sudah bertahun-tahun. Boleh dibilang sejak muda. Sekarang usianya sudah di atas empatpuluh tahun. Staminanya pun sudah mulai mengendur.
Azan magrib berkumandang. Duraji memutuskan untuk pulang. Ia mengayuh becaknya cepat-cepat. Sebab langit terlihat mulai mendung.
Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.