Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Jejak Sang Penari [13]

15 Agustus 2017   06:45 Diperbarui: 23 Agustus 2017   17:59 3270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org/user/christianwalpole

Kisah sebelumnya Novel | Jejak Sang Penari [12]

Bag.13-Lelaki yang Terluka

"Apakah Papi baik-baik saja?" tanyaku  cemas. Papi tidak menjawab. Tubuhnya lemas terkulai dalam pelukanku.

Dari jauh sekelompok orang datang menghampiri kami.

"Ada apa ini?" salah satu dari mereka bertanya.

"Tolong, bantu aku. Papi terluka!" ujarku panik. Aku khawatir melihat wajah Papi yang tampak pucat dan bibirnya membiru mengatup rapat. Desah napasnya pun tersengal.

Orang-orang yang baru datang itu membantu menggotong Papi dan menepikannya di tempat yang teduh. Beberapa di antara mereka berusaha memberi pertolongan pertama. Tapi rupanya kondisi Papi semakin memburuk.

Aku  menoleh ke arah laki-laki asing yang masih terkapar tak jauh dari tempatku berdiri.

"Siapa pun kau, tak akan kumaafkan!" aku menatapnya benci. Wajahku memerah. Laki-laki itu membalas tatapanku dengan senyum aneh sembari mengelus-elus pelipis kirinya yang memar.

"Apakah kau...Jansen?" ia berusaha bangkit.

Ingin rasanya kutendang laki-laki asing itu.

Tapi aku lebih mementingkan kondisi Papi.

***

Beberapa orang membantuku membawa Papi ke Rumah Sakit terdekat. Papi sepertinya mengalami shock berat. Kukira penyakit jantungnya yang selama ini dideritanya kambuh.

Beruntung Papi mendapatkan pertolongan secepatnya. Itu membuatku merasa jauh lebih tenang. Aku terpekur di ruang tunggu. Sendiri. Menunggu Papi yang masih dalam pemeriksaan dokter dengan harap-harap cemas. Semoga keadaan Papi baik-baik saja.

Seseorang menyentuh pundakku, membuatku menoleh. 

Laki-laki bernama Julian itu! Ia sudah berdiri di belakangku.

"Mengapa kau kemari?" tanyaku seraya mengibaskan tangannya dengan kasar.

"Untuk bertemu denganmu, Nak." laki-laki itu menjawab ringan. Ia tersenyum. Aku muak melihat senyumnya yang menurutku terlihat sangat licik.

"Kau telah menyerang Papi. Dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!" emosiku sudah sampai di ubun-ubun. Kepalaku seakan hendak meledak.

"Kau sama pemarahnya dengan Pieter sialan itu, Zoon," laki-laki itu tertawa. Tawanya terdengar sangat mengerikan. Seperti tawa iblis.

"Dengar Jansen. Pieter itu bukan ayahmu! Akulah ayahmu yang sebenarnya. Pieter telah merampasmu dariku," laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke arahku, begitu dekat. Hingga hidung kami nyaris bersentuhan.

"Hentikan omong kosong ini! Pergilah kau! Aku tidak mengenalmu. Kalau kau masih juga menggangguku, aku bisa memanggil securityuntuk menyeretmu keluar dari ruangan ini!" ancamku dengan suara bergetar.

"Julian! Jangan ganggu dia!" tiba-tiba seseorang berseru. Suaranya serak. Seperti suara burung gagak. Aku mengenalinya. Sangat mengenalinya. 

Suara itu, ya, aku masih bisa mengingatnya dengan baik. Ia---laki-laki berselubung selendang yang selama ini kucari.

"Kau?" laki-laki bernama Julian itu tampak terkejut. Ia mundur beberapa langkah. Sementara laki-laki yang baru datang itu berjalan tergopoh menghampiri Julian.

"Jika kau terus mengganggunya, aku tak akan segan membunuhmu!" laki-laki berselubung itu merangsek maju. Tangan kanannya memegang sesuatu yang berkilat. Aku ternganga.

"Untuk apa kau membela anak ini? Apa artinya dia bagimu?" laki-laki bernama Julian itu mundur lagi beberapa langkah.

"Kau terlalu banyak mencampuri urusanku, Julian! Kukira tak ada yang bisa menghentikanmu kecuali ini!" laki-laki itu tiba-tiba saja menubruk Julian. 

Kejadiannya begitu cepat. Tanpa bisa dicegah.

Benda berkilat di tangan laki-laki itu menghujam berkali-kali tepat di ulu hati Julian. Laki-laki paruh baya itu melolong panjang. Darah segar muncrat mengenai wajah dan sekujur tubuhnya. Ia limbung. Terhuyung ke belakang lalu ambruk mencium lantai.

"Ni, apa yang kau lakukan padaku?" Julian sempat merintih sebelum akhirnya ia diam tak bergerak.

Beberapa orang berdatangan menolong laki-laki yang terluka itu.

Sementara aku---berdiri mematung dengan kepala dijejali sebuah pertanyaan.

Ni? Julian memanggil laki-laki berselubung itu dengan sebutan Ni?

Serta merta aku merangsek maju. Menarik kain yang membebat wajah pedagang asongan itu. Dan....

Bersambung.......    

***

Malang, 15 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra                                                 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun