Kini keduanya benar-benar berhadapan.
"Kau!" Papi terlihat sangat marah. Ia mengepalkan tinjunya.
"Hohoho, tahan dulu amarahmu, Bapak Tua. Aku hanya ingin bertanya padamu. Apakah kau yakin anak itu darah dagingmu? Ehem, kuulangi lagi, meski kami, aku dan Kadek Resti hanya melakukannya sekali, bisa saja anak itu adalah..."
"Kuperingatkan kau, Ju! Jaga mulut kotormu itu!" Papi berteriak lantang. Suaranya mengalahkan deru angin. Aku ngeri mendengarnya. Baru sekali ini aku melihat Papi semarah itu.
"Oh, ya? Kau yang seharusnya menjaga kelakuanmu, Pieter. Kau tidak saja merebut Ni Kadek dariku, tapi juga menguasai anak itu!" laki-laki bernama Julian itu tiba-tiba menubruk Papi dan melayangkan tinjunya bertubi-tubi ke dada kiri Papi. Mendapat serangan mendadak, Papi tidak siap. Ia kehilangan keseimbangan. Tubuh ringkihnya terjengkang lalu ambruk ke tanah yang keras.
Laki-laki asing itu terlihat belum puas. Ia merangsek sekali lagi. Tapi kali ini dengan sisa-sisa kekuatannya, Papi berusaha membalas serangan yang datang bertubi itu. Ia menyambut dengan kepalan tinjunya. Dan, jleb! Tinju Papi tepat mengenai pelipis mata kiri orang itu.
Entah apa yang terjadi padaku. Sedari tadi aku hanya berdiri terbengong menyaksikan dua laki-laki paruh baya berkelahi di depan mataku. Mendadak aku tersadar. Aku harus melakukan sesuatu.
Secara naluri aku berpihak kepada Papi. Aku mendekat, meraih tubuh laki-laki asing itu dengan kasar, mencengkeram kerah kemejanya dan menghempaskan tubuhnya hingga jatuh tersungkur.
Laki-laki asing itu merintih panjang.
Sementara Papi, ia meringis seraya memegang dada sebelah kirinya yang terkena pukulan.
Aku berhambur memeluknya.