"Bukankah hujan turun itu atas kehendak Tuhan, Uti? Begitu kata Pak Guru agama di sekolah."
"Sudah. Le. Istirahat di kamarmu sana!" Simbah putri tidak menanggapi kata-kata Sugiman. Perempuan tua itu mulai ikut cemas. Gerimis turun kian rapat.
Dan benarlah. Suaminya, Mbah Satemin, yang  tengah duduk bersila berhadapan dengan sapu lidi berseru memanggil-manggil namanya.
"Nem! Cepat bantu aku!"
Perempuan tua itu bergegas menemui suaminya yang tampak mulai kewalahan menyingkirkan hujan yang mulai menari-nari.
"Tambahkan cabai kecilnya, Nem! Juga terasinya!" suara suaminya terdengar  panik. Painem, nama perempuan itu, kembali masuk ke dalam rumah, menuju dapur dan mengambil ubarampe  sesuai dengan perintah suaminya.
Kini ujung sapu lidi nyaris tak ada yang kosong.
Hujan pun mulai mereda. Langit kembali cerah.
Kedua suami istri itu bernapas lega. Mereka masuk ke dalam rumah beriringan.
Keringat dingin membasahi kening Mbah Satemin, laki-laki pawang hujan itu. Kalau sampai hujan turun dengan deras, habislah ia.
Bulan-bulan musim pengantin begini, ia memang terlihat sangat sibuk. Banyak warga yang kebetulan punya gawe minta pertolongan padanya. Dan biasanya, ia selalu sukses menjalankan pekerjaannya itu.