Mendung kelabu menggelayut suram. Beberapa orang cemas menatap langit. Tak terkecuali lelaki itu. Ia sibuk mempersiapkan semuanya. Berkejaran dengan waktu.
Seikat sapu lidi ia letakkan di tengah halaman depan rumah dalam posisi berdiri. Pada ujung-ujungnya disematkan beberapa buah cabai kecil dan cabai besar, tiga siung  bawang putih dan bawang merah. Tak lupa sedikit irisan terasi yang diambil dari botekan  tempat bumbu milik istrinya di dapur.
Sejenak lelaki sepuh itu berdiri mematung. Mulutnya komat-kamit.Â
"Mbah! Sudah gerimis!" suara Sugiman, cucu laki-lakinya, mengganggu konsentrasinya. Lelaki tua itu menghentikan kegiatannya sejenak.
"Masuk ke dalam rumah sana!" ia menghardik Sugiman. Bocah lanang yang baru saja disunat itu lari ke dalam pelukan simbah putrinya yang berdiri termangu di ambang pintu.
"Akungmu kalau sedang sibuk mawang, jangan diganggu," simbah putri menegur. Sugiman semakin mengkeret.
"Memang hujan takut sama Akung, ya, Uti?" Sugiman memanggil simbah putrinya dengan sebutan 'Uti'. Â Â Â Â Â Â Â Â
"Bukan takut. Tapi hujan menyingkir akibat hawa panas yang dikeluarkan oleh ilmu Akungmu."
"Benarkah? Jadi bukan gara-gara sapu lidi dan bumbu sambel itu?" Sugiman menyipitkan kedua matanya.
"Itu hanya sesajen."
Sugiman menatap simbah putrinya lekat-lekat.