Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Tangga ke Tujuh

17 Mei 2017   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2017   08:38 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu, pada anak tangga ke tujuh aku berhenti. Menata sejenak suasana hati yang sibuk bergemuruh. Menghela napas panjang. Lalu berupaya menepis segala memori.

Sejujurnya aku begitu tersiksa setiap kali harus melewatinya. Tangga dari besi yang bentuknya melingkar,  yang menghubungkan lantai bawah menuju kamar atas itu mengingatkanku pada kenangan masa lalu. Kenangan indah yang tak akan pernah mampu kulupakan. 

Selalu--- pada anak tangga ke tujuh itu kau mengajakku berhenti. Mencium lembut keningku dan menangkup pinggangku erat-erat.

"Tahun depan jika tabungan sudah terkumpul, kita akan segera berangkat ke tanah suci," begitu tuturmu . Aku tersenyum. Merebahkan kepalaku di atas dadamu yang bidang. 

"Semoga angan ini bukan hanya sekedar keinginan," bisikku. Dan kau semakin mempererat pelukanmu.

Ya, di sana, di tangga ke tujuh lengan kekarmu akan berlama-lama mendekapku.

"Mama!" suara Zaki mengagetkanku. Bocah belasan tahun itu menghampiri dengan langkah terburu. "Mama terlalu lama berdiri di sini," menatapku. Lalu tanpa ragu ia memapahku turun kembali menuju ruang bawah.

"Zaki akan membersihkan kamar itu, Ma....Mama istirahatlah," ia membimbingku menuju sofa. 

Zaki kembali menaiki anak tangga. Meninggalkanku duduk terpekur. Kurapikan syal yang membelit leherku.

Ini musim penghujan. Biasanya kita duduk-duduk bersantai di ruang tengah. Kau akan membawakan secangkir teh panas untukku. Lalu dengan sabar meniup teh itu sampai benar-benar siap kuminum. Saat itulah aku bisa melihat dengan puas wajahmu yang kecoklatan, yang mulai dihiasi kerutan-kerutan kecil pada setiap sudut di penghujung kedua mata.

“Minumlah sayang...” ujarmu seraya mendekatkan bibir cangkir ke arah bibirku. Dan aku serta merta meneguk teh yang sudah menghangat itu dengan perasaan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun