Kukira kau---terlalu memanjakanku.
Mataku kembali menatap susunan anak tangga yang melingkar. Lagi, kulihat bayang kita berdiri di sana, di anak tangga ke tujuh.
“Kalau aku yang dipanggil Tuhan terlebih dulu, akankah kau menikah lagi?” bisikku agak gemetar. Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Kau tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya tanganmu mengusap lembut punggungku, dan itu---cukup memberiku kekuatan dan kepercayaan. Seberapa besar cintamu padaku.
“Besok pagi waktunya kontrol ke dokter. Aku akan izin sebentar tidak masuk kantor untuk mengantarmu.”
“Tidak perlu sampai begitu, tetaplah masuk kerja seperti biasa,” aku menatap wajahmu yang tak pernah sepi dari senyum. “Aku bisa pergi sendiri.”
“Kau membutuhkan kehadiranku, dear,” ujarmu lembut. Sungguh, aku kerap ingin menangis setiap kali kau perlakukan diriku sebegitu istimewa.
Ini setahun sudah sejak kepergianmu. Tapi belum tuntas juga masa berkabung di hatiku. Kau meninggalkanku begitu cepat. Padahal yang sakit itu aku. Mengapa yang dipanggil Tuhan terlebih dulu justru dirimu?
Kejadian tragis itu kembali menari-nari di pelupuk mataku. Kejadian yang membuatku harus kehilangan dirimu selamanya.
Siang itu usai menjalani pemeriksaan dokter, kita memutuskan untuk langsung pulang. Seperti biasa kau papah aku menuju lantai atas. Tak kau lepas sedetik pun pinggangku dari regkuhanmu.
Pada anak tangga ke tujuh, kaki kita spontan berhenti.
“Aku selalu ingin menciummu di anak tangga ke tujuh ini. Kenapa ya?” kau tertawa. Dan aku pun ikut tertawa. Selalu begitu. Lalu kita mengulangi lagi hal-hal yang biasa kita lakukan saat berdiri di anak tangga ke tujuh itu. Berdansa, tanpa suara. Diiringi irama detak jantung kita berdua.