Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Anak Tangga ke Tujuh

17 Mei 2017   08:00 Diperbarui: 17 Mei 2017   08:38 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kukira kau---terlalu memanjakanku. 

Mataku kembali menatap susunan anak tangga yang melingkar. Lagi, kulihat bayang kita berdiri di sana, di anak tangga ke tujuh.

“Kalau aku yang dipanggil Tuhan terlebih dulu, akankah kau menikah lagi?” bisikku agak gemetar. Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Kau tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya tanganmu mengusap lembut punggungku, dan itu---cukup memberiku kekuatan dan kepercayaan. Seberapa besar cintamu padaku.

“Besok pagi waktunya kontrol ke dokter. Aku akan izin sebentar tidak masuk kantor untuk mengantarmu.”

“Tidak perlu sampai begitu, tetaplah masuk kerja seperti biasa,” aku menatap wajahmu yang tak pernah sepi dari senyum. “Aku bisa pergi sendiri.”

“Kau membutuhkan kehadiranku, dear,” ujarmu lembut. Sungguh, aku kerap ingin menangis setiap kali kau perlakukan diriku sebegitu istimewa. 

Ini setahun sudah sejak kepergianmu. Tapi belum tuntas juga masa berkabung di hatiku. Kau meninggalkanku begitu cepat. Padahal yang sakit itu aku. Mengapa yang dipanggil Tuhan terlebih dulu justru dirimu?

Kejadian tragis itu kembali menari-nari di pelupuk mataku. Kejadian yang membuatku harus kehilangan dirimu selamanya.

Siang itu usai menjalani pemeriksaan dokter, kita memutuskan untuk langsung pulang. Seperti biasa kau papah aku menuju lantai atas. Tak kau lepas sedetik pun pinggangku dari regkuhanmu.

Pada anak tangga ke tujuh, kaki kita spontan berhenti.

“Aku selalu ingin menciummu di anak tangga ke tujuh ini. Kenapa ya?” kau tertawa. Dan aku pun ikut tertawa. Selalu begitu. Lalu kita mengulangi lagi hal-hal yang biasa kita lakukan saat berdiri di anak tangga ke tujuh itu. Berdansa, tanpa suara. Diiringi irama detak jantung kita berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun