Tentu saja Diman merasa sedih. Sama sedihnya dengan Topeng Malangan yang meringkuk sendirian di pojok gudang.
Pintu berderit. Seseorang menguak pintu gudang. Topeng Malangan yang tengah melamun nyaris menjerit karena girang. Diman!
“Kukira aku akan kehilangan dirimu,” tangan kurus Diman terulur. Menyentuh wajah topeng yang tak terurus itu. “Oh, hidungmu terluka, aku harus menambalmu, huft...” ditiupnya debu yang melekat. Lalu dibawanya topeng itu keluar gudang menuju ruang tamu.
Sementara di luar gerimis semakin rapat, menari-nari dan menghentak-hentak. Diman duduk bersila di atas bangku panjang. Tangannya sibuk mengusap wajah topeng yang kusam. Sesekali lelaki itu menaikkan cuping hidungnya, lalu bersin-bersin.
Sejenak ia dikagetkan oleh kedatangan Surti. Gadisnya itu berlari-lari kecil menghampirinya.
“Ayah, Mas Pramono baru saja meminangku. Kami akan segera menikah!” Surti berseru dengan wajah penuh binar. Diciumnya pipi lelaki tua itu sembari menunjukkan cincin yang tersemat di jari manisnya.
“Apakah sudah kamu pikirkan baik-baik keputusanmu itu, Nduk?” Diman bertanya tanpa mengalihkan pandang dari Topeng Malangan di tangannya.
“Mengapa Ayah bertanya begitu?” Surti menatap Ayahnya kecewa.
“Karena Ayah menyayangimu. Pramono itu tidak seperti yang kau kira. Ia bukan pria bujangan. Apakah kamu siap menanggung resikonya?” Diman berdiri. Meletakkan topeng di atas meja. Lalu berjalan mendekati jendela yang berderak-derak tertiup angin.
“Mas Pramono masih bujangan, Ayah!” Surti memberengut. Bibirnya yang mungil mengerucut. Diman tertawa. Ia menghampiri putrinya dan mengelus perlahan pundak gadisnya itu.
“Ayah tidak berkata bohong, Nduk. Banyak informasi miring masuk ke telinga ayah mengenai siapa sebenarnya Pramono.”