Kucoba memejamkan mata. Kututup wajahku dengan bantal. Rasa takutku agak sedikit berkurang. Memang, sementara waktu aku tidak lagi melihat hal-hal yang mengerikan, tapi--- telingaku mendadak menangkap suara-suara aneh. Suara berdenging semirip ngiang ribuan kumbang. Suara-suara itu berebut merubungku.
"Ah... Ibu...! Tolong jangan matikan lampu!" Suaraku melolong memecah kesunyian malam. Tak terdengar suara langkah Ibu. Pasti Ibu sudah tertidur. Atau pura-pura tidur karena jengkel dengan kelakuanku yang---nyaris setiap malam seperti ini.
Nguing... suara ngiang itu tak juga berhenti. Aku membekap telingaku rapat-rapat dengan kedua tanganku.Â
Peluh kembali bercucuran membasahi sekujur tubuhku.
***
Esoknya aku bangun kesiangan. Berangkat sekolah tanpa sarapan karena khawatir terlambat lagi. Sudah berkali aku mendapat teguran dari guru wali kelasku. Belum lagi di dalam kelas aku kerap tertidur karena mataku masih terasa berat dan mengantuk. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap hasil belajarku. Nilai-nilai ulanganku jatuh.
Sudah bisa dipastikan, saat menyodorkan hasil ulangan untuk ditandatangani, Ibu memarahiku habis-habisan.
"Kemarin kamu sudah tinggal kelas, Bas! Masa tahun ini tidak naik lagi? Apa kamu akan menua di kelas empat?"
Aku tak berani mengangkat muka. Meski dalam hati aku ingin mengatakan sesuatu.
"Kalau tahun ini kamu tidak naik kelas lagi, berhenti saja dari sekolah!"Â
Ibu tampaknya benar-benar sangat marah padaku.