Sungguh, jika aku memilih menunda menikah hingga usiaku menginjak dua puluh tujuh tahun, bukan berarti tidak ada lelaki yang menginginkanku. Bukan. Aku hanya belum menemukan calon yang sesuai dengan impianku.
"Calon yang bagaimana lagi yang kau inginkan, Tari?" Ibu mengelus lembut rambutku. Dari nada suaranya kentara sekali bahwa beliau merasa was-was dengan kesendirianku.
"Aku ingin lelaki yang sempurna, Bu. Seperti Ayah," jawabku bersungguh-sungguh.
“Tidak ada laki-laki yang sempurna di dunia ini, Tari,” lanjut Ibu seraya menarik napas panjang. “Ayahmu juga bukan manusia yang sempurna, Nduk. Beliau memiliki banyak kekurangan."
Mengenang sosok Ayah membuatku merasa begitu kehilangan. Figur ayah memang melekat erat dalam ingatanku. Ayah seorang pemimpin keluarga yang baik. Penuh kasih sayang. Kesetiannya terhadap Ibu juga sangat luar biasa. Ayah tak pernah sekalipun menyakiti hati Ibu.
Aku sempat berpikir, wanita paling bahagia di dunia ini pastilah Ibu karena memiliki pendamping hidup yang begitu setia. Dan anak yang paling bahagia itu tentulah aku karena memiliki seorang Ayah yang begitu sempurna.
Zaman sekarang mencari sosok lelaki seperti Ayah, bagaikan mencari sebuah jarum di atas tumpukan jerami. Sangat sulit. Aku mengalaminya sendiri. Berulang kali aku dikhianati laki-laki. Kebanyakan dari mereka yang pernah dekat denganku hanya berniat mempermainkanku. Itulah salah satu sebab mengapa aku mempertahankan kesendirianku dan terkesan pemilih dalam mencari pasangan hidup.
Sampai suatu hari Mas Alfiar, kerabat dekat kami datang bertandang ke rumah.
“Tari, ada temanku yang sedang mencari istri, nih. Apakah aku bisa merekomendasikan dirimu?” Mas Alfiar membuka percakapan.
“Wah, semacam mak comblang, nih?” sahutku sambil lalu.
“Ini serius, Tari. Temanku ini seorang laki-laki yang baik. Aku bersedia menjadi jaminannya….”