Dee, semalam bulan datang menemuiku. Tak seperti biasa, kali ini wajahnya muram, tubuh sintalnya tak lagi utuh, tinggal separuh.Â
"Apa yang terjadi padamu?" tanyaku. Bulan membisu. Di tangannya tertangkup bunga rampai.Â
"Ini bunga kematian. Untuk diriku sendiri," tuturnya sedih.Â
"Mati adalah salah satu fase di mana kehidupan yang baru akan segera dimulai," aku menimpali.
"Ya, tapi aku belum ingin mati."
"Kenapa?"
"Aku masih ingin mengikuti kisahmu."
"Kisah yang mana? Sudah lama aku tak punya kisah," aku tertawa.
"Benarkah? Bagaimana dengan lelaki itu?" bulan tersenyum menggodaku.
"Lelaki yang mana?"
"Lelaki yang tertinggal keretamu...."
Mendengar itu, Dee, aku tersipu. Benar-benar tersipu. Bagaimana mungkin bulan sampai tahu? Padahal senja di mana lelaki itu berlari mengejar keretaku, tak kulihat keberadaannya di langit.Â
"Aku mengintip kalian dari balik awan," ujar bulan seolah tahu apa yang tengah aku pikirkan.
"Lelaki konyol itu, hanya ingin memberiku kejutan," bisikku malu-malu. Bulan merangkul pundakku. Lalu mengecup pipiku dengan bibirnya yang tinggal separuh.
"Kau menyukainya?" bulan menatap wajahku. Aku terdiam.
"Bukalah hatimu. Dia telah dikirim Tuhan untuk menghapus air matamu."
***
Barangkali bulan benar, Dee. Lelaki itu telah dikirim Tuhan sebagai pelipur laraku.
Sejenak anganku menerawang jauh ke belakang. Pada kejadian di mana aku mesti pulang dan menelan kekecewaan. Ah, Dee, Jakarta yang riuh, tetiba saja terasa begitu sunyi. Aku telah kehilangan terlalu banyak di sini.Â
Aku belum menceritakan ini padamu, kan, Dee. Kereta senja yang membawaku pulang singgah sebentar di sebuah setasiun kecil. Setasiun yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benakku.
Aku menempelkan wajah pada kaca jendela. Menatap langit yang masih saja muram. Saat itulah, Dee, ponselku berdering. Â
Lelaki itu, dia menelponku.
"Duh, keretanya! Sudah mau berjalan lagi, ya!" terdengar suara panik dari seberang. Aku terpana.
"Kamu di mana?" gegas aku mengedar pandang. Berusaha mencari-cari keberadaannya.
"Aku di sekitar setasiun! Di masjid!"
"Oh, aku turun ya!"
"Jangan! Nggak usah! Keretanya sudah mau jalan lagi!"
"Kamu, kenapa sih nggak bilang-bilang kalo menunggu keretaku!" teriakku menyesali tindakannya.
"Aku sengaja ingin memberimu kejutan!"
Kejutan? Ah, lelaki konyol itu, Dee, dia tidak saja berhasil memberiku kejutan, tapi juga berhasil mengembalikan senyumku yang telah lama hilang. Meski pada akhirnya kami gagal bertemu, aku tidak kecewa. Toh, masih ada hari yang lain bukan?
"Kenapa mesam-mesem sendiri?" bulan membuyarkan lamunanku. Wajah separuhnya kian menipis. Tampak tragis. Tinggal serupa garis.
"Eh, aku...."
"Please, tolong dong.... Aku enggan mati! Aku masih ingin menyaksikan kelanjutan kisah kalian!"Â
Napas bulan terengah.Â
***
Malang, 14 Oktober 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H