Pukul 19.00
Seorang pemuda memakai seragam berwarna merah menyala, mengetuk pintu apartemen---dan Lusia langsung bisa mengenalinya. Kurir pizza.
Lusia bergegas membuka pintu. Merogoh saku jaket dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. Pemuda berseragam merah menyala itu menggeleng.Â
"Seseorang sudah membayarnya, untuk Nona Lusia," ujarnya seraya menyodorkan kardus berwarna putih dengan hiasan pita berwarna merah. Lusia membaca kartu ucapan yang tertempel pada kardus pizza itu. Sedikit ragu. Siapa pengirim pizza ini? Tapi kemudian cuping hidungnya mengembang. Bau harum pizza mengalahkan rasa keingintahuannya.Â
"Baiklah, terima kasih," ia menerima kiriman itu riang. Kurir pizza pun bergegas pergi.
Jari-jari kurusnya bergerak lincah. Tutup kardus yang disemat dengan selotip berhasil dibuka menggunakan ujung kukunya yang runcing. Ia tersenyum. Membayangkan pizza bertabur sosis, mayones terbaik dan saus pedas yang menggugah selera.
Tapi mendadak senyumnya memudar. Saat kardus terbuka, bukan pizza yang dilihatnya. Melainkan sebentuk tulang rawan, berlekuk. Tipis.Terbungkus kulit berwarna coklat. Terdapat bulu-bulu halus di sepanjang tepiannya.
Diamatinya baik-baik benda itu. Ia mengernyitkan alis.
Astaga, ini daun telinga! Ia menahan napas.Â
Diamatinya sekali lagi. Benda itu memang bertabur sosis dan mayones. Juga saus yang yang meleleh di atasnya. Tapi saus itu tampak aneh. Disentuhnya dengan ujung jarinya. Lengket dan berbau anyir. Darah!
Seketika Lusia kepingin muntah.
***
Lusia memeluk kedua lututnya. Terpekur di atas tempat tidur. Dua sahabatnya, Desi dan Erna berbaring di sebelahnya.
"Tidakkah lebih baik kita laporkan hal ini pada polisi?" saran Erna. Lusia menggeleng.Â
"Daun telinga itu, Lusia, jangan-jangan pemiliknya adalah korban mutilasi," bisik Desi menimpali.
Lusia terdiam. Keningnya berkerut. Ia mencoba mengingat kembali bentuk daun telinga di dalam kardus itu. Ukuran diameternya, juga ketebalannya.
"Ada sesuatu Lusia?" tanya Desi curiga.
"Tidak ada. Hanya, mm, sepertinya aku pernah melihat bentuk telinga siapa itu," Lusia tertawa.
***
Pukul 24.00
Terdengar bunyi ketukan pada pintu.Â
"Pizza!"Â
"Kurir itu lagi," Lusia bergegas bangkit. Ia turun dari tempat tidur dan meraih sandal jepitnya.
Tangan Desi menarik lengan Lusia.Â
"Lusia, jangan buka pintu!"
"Kenapa?"
"Kau lupa kardus berisi daun telinga beberapa jam yang lalu?"
"Ah, kalian harus melihat ini. Dia kurir pizza paling tampan yang pernah kutemui," Lusia mengedipkan sebelah matanya.Â
***Â
Sebelum memutar anak kunci, disibakkannya tirai jendela. Lusia bisa melihat pemuda berseragam merah menyala itu berdiri menunggu.
"Lusia, jangan buka pintunya!" Desi dan Erna berlompatan. Berusaha menghalangi Lusia. Tapi terlambat. Pintu sudah terlanjur terbuka.
"Untuk kalian bertiga, gadis-gadis cantik penggemar pizza," kurir tampan itu tersenyum sembari menyodorkan kardus berwarna putih. Lusia tersenyum gembira menerimanya. Pada saat itulah, ia berkesempatan mengamati kedua telinga pemuda yang berdiri di hadapannya itu.
"Ada apa, Nona?" kurir pizza bertanya heran.
"Oh, tidak ada apa-apa..." Lusia tersipu. Kurir pizza itu mengangkat bahu. Lalu pergi dengan wajah penuh tanda tanya.
Sepeninggal pemuda kurir itu Lusia menggerutu.
Kedua telinganya masih lengkap. Lalu telinga siapa yang berada di dalam kardus tadi?Â
***
"Kamu yakin akan membuka kardus itu?" Desi menatap Lusia. Ragu.
"Tentu saja! Â Yang ini benar-benar wangi aroma pizza!" Lusia mendekatkan hidungnya. Mengendus-endus kardus putih di tangannya. Kedua sahabatnya menjauh tak bereaksi.
"Hei, kalian berdua, sini!" Lusia berseru.Â
"Kalian tahu apa isi kardus ini?" Lusia menimang-nimang kardus di tangannya. Mendengar itu Desi dan Erna tergoda. Mereka bermaksud mendekati Lusia.
"Wow...lima potong daun telinga, kawan! Masih segar! Satu  yang ini adalah milikku. Aku mengenalnya!" Lusia menjereng satu buah cuping telinga sambil tertawa.
Seketika Desi dan Erna urung melanjutkan langkah.
"Dan dua pasang lagi, kukira adalah milik..." Lusia berbalik badan. Menatap kedua sahabatnya dengan senyum menyeringai.
Desi dan Erna saling menatap.Â
Lalu keduanya menjerit histeris begitu menyadari, sepasang daun telinga yang biasa menempel di kepala mereka, tengah berada di tangan Lusia.
***
Malang, 26 September 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Karya ini diikutsertakan dalam event Horor dan Misteri Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H