Pagi ini aku memergoki rindu. Ia bersembunyi di dalam saku celana suamiku. Celana cargo yang memiliki banyak kantung di setiap sisi-sisinya.
Sewaktu suamiku terburu-buru meraih celananya itu, tiba-tiba rindu terjatuh. Bergedebum menggelinding di lantai.Â
Buru-buru suamiku memungutnya. Dengan hati-hati dimasukkannya kembali rindu ke dalam tempatnya semula.
"Aduuuh," sempat kudengar rintihan rindu. Aku terperangah.
"Tidak apa-apa, itu hanya bunyi perut laparku," suamiku meringis ke arahku. Mendengar itu bergegas aku menuju dapur. Menyiapkan sarapan pagi. Memanggang setangkup roti tawar dengan olesan mentega di atasnya. Beberapa irisan tomat dan sayur kuselipkan di antaranya.
Kini sarapan telah terhidang. Kulirik rindu. Ups, ia menyembulkan kepalanya. Matanya berkejap nakal mengintipku.
"Oh, mungkin aku butuh segelas kopi untuk penyemangat pagi," suamiku tersenyum ke arahku. Sementara tangannya sibuk menekan kepala rindu agar tak menampakkan diri.
Aku berdiri. Menuang dua gelas kopi. Satu untuk suamiku dan satunya lagi untuk diriku sendiri.
Saat meletakkan cangkir di atas meja, kulihat rindu kembali memperlihatkan kepalanya. Ia menoleh ke sana kemari. Membuat tangan suamiku kewalahan menahannya.
"Biarkan ia menunjukkan diri," ujarku menahan tawa. Seketika wajah suamiku memerah.Â
"Mungkin ia akan kembali tenang jika kau buatkan aku bekal untuk makan siang di pabrik nanti," sahutnya dengan senyum agak tersipu.