Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemerdekaan RTC] Mengejar Sang Merah Putih

17 Agustus 2016   03:45 Diperbarui: 17 Agustus 2016   04:05 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
persaudaraanindonesia1.blogspot.com

Aku berlari. Terengah-engah. Peluh mulai membasahi sekujur tubuhku. Tapi aku tak peduli. Aku harus mendapatkannya. Sang Merah Putih itu!

Kulewati bantaran sungai. Kumuh. Mataku menengok kanan kiri. Barangkali akan kutemukan ia di sana. Sang Saka Dwi Warna yang kucari-cari itu.

Tak ada. Hanya kibaran celana kolor dan bra warna-warni melambai-lambai ke arahku.

Kemana ia? Oh, mungkin Sang Merah Putih bersembunyi di puncak gunung.

Mulailah aku mendaki. 

Di punggung gunung aku berpapasan dengan beberapa pendaki. Mereka membawa gulungan bendera-bendera. 

"Apakah kalian membawanya serta?" tanyaku.

"Siapa?" salah seorang balik bertanya.

"Sang Merah Putih itu. Ini perayaan satu abad Kemerdekaan RI. Pasti kalian tidak melupakannya, bukan?"

Pendaki-pendaki itu tak menyahut. Hanya menatapku sekilas. Lalu berlalu meninggalkanku.

Sampailah kakiku di puncak gunung tertinggi. Mataku sibuk mencari-cari. Kulihat lagi mereka. Para pendaki yang tadi berpapasan denganku. Mereka bersorak-sorai menancapkan bendera-bendera di tangan dengan bangga. 

Tapi bendera-bendera itu bukan Sang Merah Putih. Melainkan bendera berlogo perkumpulan mereka.

 Ah, ia telah terlupakan.

Perasaan sedih bercampur lelah mulai menghinggapi. Tapi aku tak boleh menyerah. 

Kali ini kususuri pesisir pantai. Berharap melihatnya berkibar gagah di sepanjang perkampungan para nelayan.  

Sepi. Tak ada perayaan kemerdekaan.

"Ini seabad negeri kita merdeka. Mengapa tak kulihat kibaran bendera Merah Putih di sini?" aku menghampiri seorang nelayan yang tengah merajut jala.

"Benarkah? Maaf kami lupa. Yang kami ingat hanya bagaimana agar jala-jala ini bisa menjaring banyak ikan. Agar kami bisa memenuhi kebutuhan perut yang sepenuhnya belum merdeka," sahut sang nelayan tanpa menoleh ke arahku.

Aku terdiam. 

Perlahan aku berbalik badan. Meninggalkan pesisir pantai. Menuju perkotaan.

Gedung-gedung menjulang tinggi. Megah.

"Tuan, ini seabad kemerdekaan negeri kita. Mengapa tak ada kibaran bendera pusaka di depan kantormu?" aku memberanikan diri mencegat seorang laki-laki berdasi.  

Laki-laki itu menatapku sekilas. Lalu pergi mengacuhkanku.

Kakiku mulai terasa lelah. Haruskah aku menghentikan pencarianku?

Tidak. Aku tidak boleh menyerah. 

Kutinggalkan perkotaan. Kupaksakan kakiku melangkah menuju pedesaan. Semoga pencarianku membuahkan hasil di sini.  

Aroma pepohonan mulai tercium. Wangi. Hamparan padi menguning bergoyang tertiup angin. Dari jauh tampak sesuatu melambai-lambai ke arahku. Ia kah Sang Merah Putih itu? Aku berlari mendekatinya. Ah, ternyata bukan. Hanya sobekan celana petani yang dipajang di tengah sawah untuk mengusir burung-burung pengganggu.

Aku mulai kecewa dan putus asa.

Kuhempaskan tubuhku di tepi pematang. 

"Kakak, tolong bantu aku!" seorang bocah berlari-lari, menghampiriku. "Layang-layangku tersangkut di atas pohon."

Aku berdiri. Mataku mengarah pada layang-layang yang bergerak-gerak ditiup angin. Oh, warnanya merah putih! 

Hati-hati kuraih layang-layang itu. Lalu kuserahkan pada bocah yang tersenyum menungguku.

"Siapa yang membuatkanmu layang-layang ini?" tanyaku.

"Kakekku," bocah itu menjawab bangga.

"Aku ingin bertemu dengannya."

***

Tangan keriput itu, meraut sebilah buluh bambu. Kertas minyak berwarna merah putih berserakan di hadapannya.

"Mengejar layang-layang?" ia bertanya padaku seraya tersenyum.

"Bukan, Kek. Mengejar Sang Merah Putih," aku menyahut sedih.

"Untuk apa?" sang kakek meletakkan pisau lipatnya. Menatapku.

Aku tak bisa menjawab.

"Ikutlah denganku. Mari kutunjukkan sesuatu," kakek itu berdiri. Ia membawaku masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. 

"Lihatlah, itu istriku. Ia sedang menjahit bendera Merah Putih."

Aku terkesima. 

Tiba-tiba sesuatu menyentuh kepalaku. Lembut.

"Mas, bangun. Ada upacara kemerdekaan di kantor, bukan? Buruan nanti terlambat," istriku membangunkanku. Aku menyibakkan selimut. Menatap dalam-dalam wajah perempuan di sampingku.

"Ratih, belajarlah menjahit bendera Merah Putih ya," ujarku serius. Ratih terperangah.

"Pada peringatan seabad Indonesia Merdeka kelak, aku tak ingin anak-anak kita berlari-lari mengejar Sang Merah Putih," tanganku meraih pinggang Ratih. Mengelus perut buncitnya.

"Oh, aku mengerti. Mimpimu barusan tentu sangat mengerikan," Ratih mengulum senyum. Aku mengangguk.

Dan ketika menyibak tirai jendela, aku menarik napas lega. Sang Merah Putih masih berkibar gagah di sepanjang jalan. 

Pagi ini peringatan HUT RI ke- 71. Semoga di peringatan seabad kemerdekaan nanti, aku masih bisa melihatmu, doaku. Bersungguh-sungguh.

***

Malang, 17 Agustus 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Dirgahayu RI ke-71

*Cerpen ini diikutsertakan dalam event Bulan Kemerdekaan RTC

www.kompasiana.com
www.kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun