Ini malam kedua aku berada dalam kamar laki-laki yang berprofesi sebagai Hyena itu. Kurasakan tubuhku teramat penat. Beberapa lebam menghiasi paha dan lenganku akibat pergumulan kemarin malam.
"Kuharap malam ini kamu tidak berlaku liar. Agar aku bisa melakukan prosesi ritual dengan baik," Juba memperingatkanku.
"Ini bukan ritual pembersihan, tapi penistaan," aku masih bersikukuh melawannya.Â
"Gadis-gadis lain menikmati tidur denganku. Mengapa kamu tidak? Kamu tahu akibatnya jika menolak melakukan ritual ini? Musibah besar akan menghampirimu," Juba mendekatkan wajahnya.
"Musibah macam apa?" tantangku sinis.
"Kematian orang-orang terdekatmu."
"Jika yang mati Bibi Tambun itu, aku akan bersorak gembira," aku mengejeknya. Juba terlihat sangat marah.
"Kalau saja kamu tidak berwajah cantik, aku sudah menendangmu ke luar rumah!" tangannya yang kekar meraihku. Merengkuh tubuhku yang meronta-ronta bagai cacing kepanasan, untuk kemudian berhasil dinikmatinya.
***
Ini malam ketiga. Masih seperti malam-malam kemarin. Aku berjanji, akan melakukan perlawanan lagi jika laki-laki bernama Juba itu membawaku ke tempat tidur. Rasa sakit tidak saja kurasakan di bawah perutku, tapi juga di hatiku. Maria benar, tradisi yang kami miliki sungguh sangat aneh dan mengerikan.
Tekadku sudah bulat. Kusisipkan belati itu di bawah bantalku. Siang tadi aku mengambilnya dari dapur tanpa sepengetahuan istri-istri Juba. Tentu saja Juba sendiri juga tidak menyadarinya. Kubiarkan ia terlena setelah berhasil menguasaiku. Saat dengkurnya mulai terdengar, craasss! Kuhunjamkan belati itu tepat pada ulu hatinya.Â