Hyena? Aku mengernyitkan alis. Sepertinya tak asing lagi kata itu di telingaku. Beberapa teman perempuan yang sudah mendapatkan haid pernah mengatakannya.
"Malam ini aku harus menghadap Hyena," begitu yang kerap kudengar dari mulut mereka. Lalu baru saja kudengar Bibi Femi menyebut kata itu lagi.
"Bibi Femi, aku ingin tahu siapa itu Hyena," ujarku tiba-tiba. Membuat wajah Bibi Femi menegang.
"Leona, kelak jika kau sudah mendapatkan haid pertama, kau akan tahu, siapa Hyena sebenarnya. Sekarang Bibi enggan menjelaskannya padamu."
Aku terdiam. Walau otakku sendiri sejak kepergian Maria, tak juga mau kunjung diam.
***
Kini umurku memasuki dua belas tahun. Ada perubahan drastis yang kurasakan. Dadaku yang semula rata mulai membusung. Pinggulku pun sedikit membesar.Â
Maria kembali datang menemuiku. Kali ini ia tidak menangis. Tapi matanya terlihat sangat cekung dan sedih.
"Ternyata waktu tidak bisa mencegahmu untuk tumbuh dewasa, Leona," ia menatapku seraya memegangi bawah perutnya.
"Apakah ini akibat kepergianmu ke rumah Hyena itu?" tak berkedip aku menatapnya. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tubuhnya semakin kurus dan pucat.Â
"Kau sudah haid, Leona?" ia mengalihkan pembicaraan. Aku menggeleng.Â