Dia suka sekali menggangguku dengan ketukannya. Di setiap tengah malam saat aku hendak beranjak tidur. Ketukannya halus. Hanya tiga kali.
Tok, tok, tok. Sudah.
Ia tahu aku akan segera datang membukakan pintu. Melongokkan wajah dan tersenyum manis ke arahnya.
"Apa aku mengganggumu?" selalu itu yang ia tanyakan. Tentu saja aku menggeleng. Tak sampai hati mengatakan padanya bahwa mataku sebenarnya sudah sangat mengantuk.
"Kamu boleh mendengarkan kisahku sambil tiduran," ujarnya lagi seraya mendorong daun pintu perlahan. Menungguku mempersilakannya masuk. Sebelum itu kulakukan ia akan terus berdiri di ambang pintu. Memandangiku.
"Duduklah di kursi kesayanganmu," sahutku. Gadis itu mengangguk. Lalu berjalan menuju kursi goyang yang terletak di sudut ruangan.
Mataku semakin terasa berat. Kuhempaskan diri di atas sofa.
"Aku datang dari sebuah negeri yang sangat jauh," ia mulai bercerita. "Negeri di mana tinggal para penyair yang semuanya gila."
"Penyair yang semuanya gila?" mata beratku kembali terbuka.
"Ya, apakah itu tidak gila namanya? Mereka suka duduk menyendiri. Menggauli malam dan sunyi. Kadang tersenyum sendiri, tertawa, juga meneteskan air mata. Lalu bicara pada angin, hujan, bebatuan, awan, dan entah apalagi."
"Mereka tidak gila. Mereka mencintai alam."