Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovelFC](#33) Sang Pelarian

28 Mei 2016   07:04 Diperbarui: 28 Mei 2016   07:49 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ayugiadore.wordpress.com

Kisah sebelumnya

Ketika kesempatan itu ada, Galuh segera menarik tangan ibu angkatnya. Ia memberi tanda dengan kedipan mata agar sang ibu tidak bertanya apa pun. Tampaknya sang ibu paham dan menurut. Dengan berjingkat keduanya meninggalkan kamar mandi sederhana yang terletak di tengah ladang itu.

Mereka melewati jalan setapak yang terjal. Galuh bertindak sebagai penunjuk arah meski ia sendiri tidak yakin, jalan yang mereka lewati benar apa tidak. Dalam benak gadis itu, yang penting ia dan ibunya bisa meloloskan diri dari para penculik. Itu saja. 

Mereka sudah cukup jauh meninggalkan markas pondok kayu. Jalanan mulai menurun dan semakin sulit. Beberapa kali ibu dan anak itu nyaris terperosok.

Mereka terus saja berjalan tanpa berhenti. Sejauh ini mereka belum menemukan tanda-tanda akan menemukan jalan keluar dari hutan.

Galuh memandang sekeliling. Apakah mereka tersesat? Hati gadis itu mulai was-was.

"Di mana kita?" tanya istri Dokter Marwan ikut cemas. 

"Kita pasti akan menemukan jalan keluar, Mi," Galuh berusaha menenangkan ibunya.

"Tapi Mami sudah lelah," perempuan itu menatap Galuh.

"Iya, Mi. Kita cari tempat istirahat ya," Galuh meraih tangan ibunya dan menggenggamnya erat.

***

Sementara di markas pondok kayu terjadi keributan kecil. Sang pemimipin yang baru saja tiba terlihat sangat murka setelah mendapat laporan dua orang sandera mereka telah kabur.

"Bodoh amat sih, kamu!!! Masa percaya begitu saja pada anak perempuan ingusan itu!" sang pemimpin melontarkan makian terhadap anak buahnya.

"Maaf Bos, saya lengah...."

Plaakk!!! Sebuah tamparan keras melayang. Sang anak buah tak berkutik. Ia hanya mengelus rahangnya yang memerah.

"Cari mereka sampai ketemu!" sang pemimpin memberi perintah bagai singa yang terluka.

***

Galuh masih menuntun ibundanya. Berulang kali perempuan itu menghentikan langkah sembari mengeluh kelelahan. Sementara hari mulai beranjak tinggi. Perut keduanya pun sesekali berbunyi. 

"Sepertinya kita tersesat, ya, Galuh?"  

"Iya, Mi...tapi ini lebih baik daripada kita berada dalam cengkeraman para penjahat itu."

"Bagaimana kalau kita..." perempuan itu tak berani meneruskan kalimatnya. Galuh paham. Tentu ibunya merasa khawatir bertemu binatang buas penghuni hutan ini.

"Sepertinya hutan ini aman-aman saja, Mi," gadis itu menghibur. Tapi benarkah begitu? 

Sepasang mata sejak tadi mengawasi mereka dari balik semak-semak. Sepasang mata elang. 

Pemilik mata itu terkejut ketika Galuh tiba-tiba saja menoleh ke belakang. Ia menggumam tertahan. Gadis itu! Sepertinya ia pernah mengenalnya.

Sebuah tangan menepuk pundak pemilik mata elang

"Panji! Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Ssst...jangan berisik!" Panji meletakkan jarinya di atas bibir. 

"Eh, kemana mereka?" mata Panji menyapu sekeliling. Ia terlihat sangat kecewa. 

"Mereka? Mereka siapa?"

"Seorang ibu...dan gadis itu!"

***

Galuh menarik napas lega ketika tanpa sengaja melihat sebuah gubuk tak jauh dari tempatnya berdiri. Bergegas ia menggamit lengan ibunya dan berjalan mendahului.

Galuh mendorong pintu gubuk yang sudah reyot. Didapatinya sebuah bangku panjang di sudut ruangan. Susah payah ia menarik bangku itu. Lalu ia berbalik menjemput sang ibu yang terlihat sangat lelah.

"Mami istirahatlah di sini. Sementara aku akan pergi mencari makanan," ujarnya setengah berbisik. 

"Kamu mau mencari makanan di mana?" sang ibu mengernyitkan alis.

"Aku tadi sempat melihat setandan pohon pisang yang hampir matang. Mami tunggu dulu, ya...."

Tanpa menunggu jawaban gadis itu pun melesat pergi.

***

Dua orang laki-laki menyibak belukar yang menghalangi jalan mereka. Seorang di antaranya bersungut-sungut. Bekas tamparan Bos yang mendarat di rahangnya masih terasa panas.

"Sudah, jangan mengomel terus. Salahmu juga, sih, mengapa terkecoh gadis cantik itu," temannya tertawa.

"Gadis sialan! Awas kalau ketemu, akan kucincang dia!" 

Bersambung......

***

Malang, 28 Mei 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun