Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HarimenulisNovelFC](#32) Sang Pelarian

20 Mei 2016   07:08 Diperbarui: 20 Mei 2016   08:46 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah sebelumnya http://fiksiana.kompasiana.com/elfat67/100harimenulisnovelfc-31-sang-pelarian_573d01b8f07e61500ef15738

"Halo? Halooo...?" terdengar suara Dokter Marwan dari seberang.

"Ya, Dokter. Anda ingin istri dan anak Anda selamat bukan?" pria yang merebut ponsel mulai bicara. Dokter Marwan terhenyak.

"Apa yang kalian inginkan? Tebusan uang?"

"Hahaha...itu salah satu di antaranya Dokter. Tapi yang lebih utama, kami membutuhkan pasien itu."

"Pasien? Pasien yang mana?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, Dokter. Kami bisa bertindak di luar batas terhadap dua orang yang Anda cintai ini," pria itu meraih pundak istri Dokter Marwan yang tertidur. Perempuan itu terbangun seketika.

"Bicaralah dengan suamimu. Kami menawarkan barter nyawa kalian dengan nyawa pasien perempuan itu." Pria itu menyodorkan ponsel tepat di depan bibir istri Dokter Marwan.

"Piii..." perempuan itu memanggil suaminya. Setengah menjerit. Dada Dokter Marwan terguncang begitu mendengar suara istrinya.

"Mami baik-baik saja, kan?" suara pria itu terbata.

Tidak terdengar sahutan.

"Hei, cepat katakan pada suamimu. Mau menerima tawaran kami apa tidak!" pria di samping perempuan itu menghardik.

"Pi...mereka menginginkan pasien itu..."

"Aku akan menghubungi Polisi!" Dokter Marwan berteriak.

"Jangan, Pi...jika Papi lapor Polisi, mereka akan membunuh kami."

***

Dokter Ana berjalan terburu-buru di sepanjang koridor Rumah Sakit. Perempuan muda itu terkejut saat melihat Dokter Marwan masih berada di di ujung koridor. Ia segera menghampiri mitra kerjanya itu.

"Belum pulang, Dokter?" tegurnya ramah. Dokter Marwan memberi tanda agar Dokter Ana mendekat.

"Beri aku waktu untuk memikirkan tawaran kalian!" Dokter Marwan sengaja mengeraskan suaranya. Kening Dokter Ana mengernyit.

"Ya, paling tidak hingga esok hari. Tapi ingat, kalian jangan mencoba-coba menyakiti iatri dan anakku!"

Mendengar kalimat terakhir Dokter Marwan, barulah Dokter Ana paham. 

Pembicaraan dari seberang ditutup. Dokter Marwan menarik napas panjang. Pria itu menatap Dokter Ana dengan pandangan putus asa.

"Mereka diculik?" Dokter Ana menegaskan. Dokter Marwan mengangguk.

"Minta tebusan uang?"

Kali ini Dokter Marwan menggeleng.

"Mereka menginginkan pasien perempuan itu...."

***

Dokter Marwan memutuskan kembali ke ruangannya diikuti oleh Dokter Ana.

"Apa sebaiknya kita melapor Polisi?" Dokter Ana berkata hati-hati. Dokter Marwan menggeleng.

"Para penjahat mengancam akan membunuh anak dan istriku jika aku melapor pada Polisi."

Dokter Ana terdiam. 

Tapi tanpa sepengetahuan Dokter Marwan, perempuan itu telah mnghubungi tunangannya, Inspektur Bramono.

***

"Sebaiknya terima saja tawaran mereka," ujar Dokter Ana seraya menyodorkan teh panas ke hadapan Dokter Marwan.

"Melakukan barter, maksudmu?"

Dokter Ana mengangguk. Ia baru saja menerima pesan dari Bramono untuk melakukan rencananya.

"Kurasa itu bertentangan dengan hati nuraniku. Pasien perempuan itu juga memiliki hak untuk tetap hidup," Dokter Marwan tampak bingung.

"Kita tidak benar-benar melakukan barter, Dokter. Ini hanya siasat saja."

"Maksudmu?"

"Kita akan mengecoh para penjahat itu...."

***

Pagi telah datang. Udara masih terasa dingin. Matahari tak mampu menembus rerimbunan hutan cemara. Galuh hampir semalaman tidak tidur. Gadis itu lebih mengkhawatirkan keadaan ibu angkatnya.

Seorang pria masuk ke dalam bilik mereka. Membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas dan sepiring pisang rebus.

"Hari ini kalian mesti belajar mengenal makanan kami. Tempat ini jauh dari perkotaan. Jadi kami makan seadanya." Pria itu berkata tanpa menoleh. Galuh menyentuh pundak ibu angkatnya.

"Mami makanlah dulu. Sejak kemarin perut Mami belum terisi."

"Sudah pagi, ya. Oh, aku ingin ke kamar kecil," perempuan yang dipanggil Mami itu beringsut.

"Kalian memiliki kamar kecil, bukan?" Galuh menatap pria yang berdiri di hadapannya.

"Ikut denganku," pria itu berjalan mendahului.

***

Letak kamar kecil terpisah dari rumah induk. Berada di tengah-tengah ladang sekitar sepuluh meter. 

"Kamu tidak akan menunggui kami buang air, bukan?" Galuh berkata pada pria yang mengantar mereka. Untuk sejenak pria itu terlihat ragu.

"Tinggalkan kami. Kami tidak bakal kabur. Kami sama sekali tidak mengenal daerah ini," Galuh menegaskan. Pria itu berpikir sejenak. Kemudian ia membalikkan badan dan berjalan menjauh dari tempat itu.

***

Dari dalam bilik kamar mandi yang sederhana tanpa atap, Galuh mengawasi keadaan sekitarnya. Ia mengedarkan pendangannya ke segala penjuru mata angin. Sesaat ia mendesah. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya rerimbun hutan cemara. 

Tapi Gadis itu tak berputus asa.

Ia yakin akan menemukan celah untuk melarikan diri! 

Bersambung....

***

Malang, 20 Mei 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun