"Tim dokter berusaha keras menyelamatkannya. Operasi pertama sudah kami lakukan. Mungkin masih perlu beberapa kali operasi untuk memperbaiki wajah perempuan itu."
"Semoga ia bisa bertahan."
"Ya, semoga."
***
Sementara Dokter Ana masih berada di ruang pemulihan. Ia memantau  perkembangan pasien yang baru saja menjalani operasi perbaikan wajah. Entah mengapa ia  sangat prihatin melihat keadaan pasien tak dikenal itu. Dipandanginya wajah perempuan itu berlama -lama.
"Siapapun kamu, cepatlah sembuh. Aku ingin segera mendengar dari mulutmu sendiri, apa sebenarnya yang terjadi. Dan siapa yang telah tega melakukan perbuatan biadab ini," tanpa sadar Dokter Ana bergumam.
Dan entah tahu apa tidak, jemari tangan perempuan di atas ranjang itu bergerak sedikit.
***
Pagi itu dokter Marwan hanya beristirahat sebentar. Ia harus segera kembali ke Rumah Sakit. Sebelum berangkat ia menyempatkan diri membaca koran pagi. Ia berharap menemukan satu berita berkenaan dengan ditemukannya sosok perempuan yang kini menjadi pasiennya itu. Tapi ternyata pagi itu berita lebih didominasi oleh perkembangan politik khususnya mengenai cagub dan cawagub suatu daerah tertentu. Dokter Marwan hanya membaca sekilas berita-berita itu. Ia sebenarnya mula bosan dengan trending topic yang itu-itu juga. Tapi meski begitu, ia berusaha maklum. Sejauh ini berita politik memang jauh lebih menarik ketimbang berita-berita lainnya.
Usai menghabiskan segelas air putih dan sebutir telur rebus setengah matang, Dokter Marwan bergegas meraih tas kerja yang sudah disiapkan oleh istrinya. Ditemuinya sang istri yang tengah sibuk merapikan tempat tidur.
"Mungkin hari ini Papi pulang terlambat lagi. Maaf nggak bisa menemani Mami belanja ya. Bisa pergi bersama Galuh bukan?" Dokter Marwan menyentuh lembut pipi istrinya. Sang istri mengangguk sembari tersenyum. Dan sudah menjadi kebiasaannya, ia segera meraih tangan suaminya itu. Lalu menciumnya dengan lembut.