Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovelFC] (#2) Sang Pelarian

16 Maret 2016   13:28 Diperbarui: 16 Maret 2016   14:00 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Kisah sebelumnya di sini  

.....................................................

 

Beberapa saat lamanya Panji Asmara menahan napas. Kuku-kuku runcing di bawah pohon Akasia itu masih terus menggaruk-garuk. Pemuda itu tak berani menggerakkan tubuhnya barang sedikit pun.

Awan berarak perlahan memeluk rembulan. Suasana berubah gelap. Panji Asmara meraba-raba kantung kecil yang berada di pinggangnya. Masih ada! Buah kesemek yang tadi digigitnya sedikit itu masih tersimpan di dalam kantung.

Panji meraih buah sebesar kepalan tangan itu. Ia harus mengusir hewan-hewan liar yang tengah bergerombol di bawah pohon. Ia akan mengalihkan perhatian mereka.

Kroosaaak...!!!

Hewan-hewan bertutul itu terkejut. Mereka berhambur mencari asal suara. Panji menahan napas. Lemparan buah kesemek untuk sementara berhasil membuat kucing-kucing raksasa itu menjauh. 

Awan telah melepas pelukannya. Rembulan sendiri lagi. Sinarnya kembali menyentuh wajah Panji Asmara yang tampak kelelahan.

Sisa malam terasa sangat panjang. Panji Asmara meringkuk memeluk kedua lututnya menahan udara dingin. Pemuda itu tak bermaksud melanjutkan tidurnya lagi. Hatinya masih was-was. Ia khawatir gerombolan macan tutul akan kembali.

Ketika seberkas cahaya merah memburai dari ufuk timur, barulah Panji merasa lega. Pagi telah tiba. Dengan tergesa pemuda pelarian itu menuruni pohon.

Panji menggerak-gerakkan kakinya yang terasa nyeri dan kaku. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan sungguh jauh berbeda. Hutan belantara yang semalam tampak menyeramkan, pagi ini terlihat begitu indah. Pepohonan menghijau segar. Burung-burung berkicau riang. Sinar mentari mulai genit mengintip di sela-sela dedaunan.

Panji menajamkan pendengarannya. Ia menangkap bunyi arus air mengalir. Dengan langkah hati-hati ia mulai menyeruak semak belukar. Dan hatinya berseru girang. Di balik pohon yang rindang didapatinya sebuah sungai kecil.

Sungai itu mengalir deras. Airnya sangat jernih. Di sepanjang tepinya banyak terdapat batu berukuran besar. Tanpa pikir panjang Panji segera melompat turun dan merendam kedua kakinya.  

Sembari membersihkan kotoran dan luka pada betisnya, Panji bergumam dalam hati. Alangkah indahnya panorama sekitar hutan ini. Alam ciptaan Tuhan Sang Maha Karya. Ia pun teringat bumi Jenggala.

Jenggala juga memiliki keindahan alam tiada terperi.

Rasa rindu tiba-tiba saja menyeruak.

Buru-buru diraupnya segenggam air. Dibasuhnya wajah yang menyimpan duka dan kepedihan itu. Ia ingin membuang semua kegetirannya sejenak.

Tetiba telinganya yang tajam mendengar bunyi ranting kering terinjak. Ia mendongakkan kepala. Matanya menyipit. Perasaannya kembali was-was. Jangan-jangan sekelompok hewan bertutul tadi malam itu kembali lagi!

Panji Asmara bergegas naik ke atas sebuah batu besar. Pandangannya menyapu sekeliling. Tidak terlihat apa pun. Bunyi ranting terinjak juga tidak didengarnya lagi. Ia kembali turun ke sungai. Melucuti pakaiannya dan merendam tubuhnya yang penat.

Sembari menunggu pakaian yang dicucinya mengering, Panji menikmati sentuhan air mengalir pada tubuhnya. Ia membuang jauh-jauh rasa malu. Ia yakin tak ada seorang pun yang melihat dirinya dalam keadaan bugil seperti itu. Kecuali hewan-hewan liar penghuni hutan.

Tapi benarkah begitu?

Lalu sepasang mata siapa yang tanpa sengaja memergoki tubuh kekarnya tengah terlentang di dalam air?

Pemilik mata yang tampak terkejut dan buru-buru memalingkan wajahnya.

Sungguh, pemandangan yang baru saja tertangkap mata membuat dadanya berdegup kencang.

Tapi sejurus kemudian wajah bersemu merah itu berubah memucat.

Seekor ular seukuran ibu jari manusia dewasa tengah merayap mendekatinya.

Ular itu mendesis dengan kepala menegak. Lidah ular pun terjulur siap mematuknya!

 

bersambung....

 

***

Malang, 16 Maret 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Karya ini diikutsertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel FC

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun