Panji menggerak-gerakkan kakinya yang terasa nyeri dan kaku. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Keadaan sungguh jauh berbeda. Hutan belantara yang semalam tampak menyeramkan, pagi ini terlihat begitu indah. Pepohonan menghijau segar. Burung-burung berkicau riang. Sinar mentari mulai genit mengintip di sela-sela dedaunan.
Panji menajamkan pendengarannya. Ia menangkap bunyi arus air mengalir. Dengan langkah hati-hati ia mulai menyeruak semak belukar. Dan hatinya berseru girang. Di balik pohon yang rindang didapatinya sebuah sungai kecil.
Sungai itu mengalir deras. Airnya sangat jernih. Di sepanjang tepinya banyak terdapat batu berukuran besar. Tanpa pikir panjang Panji segera melompat turun dan merendam kedua kakinya. Â
Sembari membersihkan kotoran dan luka pada betisnya, Panji bergumam dalam hati. Alangkah indahnya panorama sekitar hutan ini. Alam ciptaan Tuhan Sang Maha Karya. Ia pun teringat bumi Jenggala.
Jenggala juga memiliki keindahan alam tiada terperi.
Rasa rindu tiba-tiba saja menyeruak.
Buru-buru diraupnya segenggam air. Dibasuhnya wajah yang menyimpan duka dan kepedihan itu. Ia ingin membuang semua kegetirannya sejenak.
Tetiba telinganya yang tajam mendengar bunyi ranting kering terinjak. Ia mendongakkan kepala. Matanya menyipit. Perasaannya kembali was-was. Jangan-jangan sekelompok hewan bertutul tadi malam itu kembali lagi!
Panji Asmara bergegas naik ke atas sebuah batu besar. Pandangannya menyapu sekeliling. Tidak terlihat apa pun. Bunyi ranting terinjak juga tidak didengarnya lagi. Ia kembali turun ke sungai. Melucuti pakaiannya dan merendam tubuhnya yang penat.
Sembari menunggu pakaian yang dicucinya mengering, Panji menikmati sentuhan air mengalir pada tubuhnya. Ia membuang jauh-jauh rasa malu. Ia yakin tak ada seorang pun yang melihat dirinya dalam keadaan bugil seperti itu. Kecuali hewan-hewan liar penghuni hutan.
Tapi benarkah begitu?