Aku tak hendak membicarakan diriku, yang terlanjur luruh bersama debu.
Aku lebih suka membicarakan mereka. Anak-anakku...
Haruskah mereka mewarisi kemiskinan hingga tujuh turunan?
Sungguh, untuk apa membicarakan diriku. Jika membahas mereka, jauh lebih menggairahkan.
Anak-anakku, harus lebih kuat dan perkasa dibanding ibunya.
Mereka mesti sigap berlari...demi mengejar matahari. Pun lihai melompat jauh lebih tinggi ...tuk gantungkan seribu mimpi.
Ibumu, Nak... telah kenyang mengunyah batu.
Tentu tak kumau, kalian, anak-anakku... mengemil kerikil.
Ketika propaganda sekolah gratis, masih saja membuat hati menangis. Ah, Nak, asal kamu tahu, di dunia ini tak ada yang benar-benar gratis....
Setidaknya, ibu harus menabung air mata.
Tidak, aku tak bermaksud membicarakan diriku. Karena miskin bukanlah hal yang baru. Miskin itu biasa.
Siapa suruh aku miskin? Tak ada.
Sungguh, aku enggan membicarakan diriku.
Aku lebih suka membicarakan anak-anakku...anak-anak bangsaku, yang terlanjur lahir dari rahim bernama miskin....
Â
                                                                        ****
Â
*Dari : catatan kecil seorang ibu
Malang, 17 Februari 2016
Lilik Fatimah Azzahra
*Sumber Foto:koranpdkllgmura.blogspot.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H