Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki yang Menggunting Daun (Sepenggal Kisah Bung Karno)

13 Februari 2016   10:02 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:01 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="nasional.news.viva.co.id"][/caption]

"Ia hanya memakai celana piyama warna krem dan kaos cap cabe. Baju piyama disampirkan di pundak. Memakai sandal Bata yang sudah usang. Tangan kanannya membawa kertas koran yang digulung agak besar, isinya bendera pusaka."

 

****

Sejak kepulangannya, atau lebih tepatnya, sejak terusir dari tempat bernama Istana, laki-laki berumur yang masih memancarkan kharisma itu lebih sering duduk termenung di pojok halaman rumah. Sembari menggunting daun. Ya, menggunting daun. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Mungkin masih berkutat mengenai perang batin yang tak pernah usai. Satu sisi hati berkata,"Apakah ini bentuk terima kasih yang kudapat setelah apa yang telah kulakukan untuk rakyat dan tanah air? Aku tidak bisa mengerti semua ini. Aku ingin agar aku ditembak saja."

Dan sisi hati yang lain menyanggah,"Kalian tahu apa? Kalau saya melawan akan terjadi perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda jelas beda hidungnya dengan kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak. Wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya sama dengan keluargamu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa ini perang saudara."( Maulwi Saelan)

Sebuah pengakuan bukanlah lantas diterjemahkan dengan ketidakpuasan.

Kepulangannya disambut istrinya, wanita yang sempat cemburu (bangga?) karena suaminya lebih mencintai negara dari pada keluarganya dengan kalimat,"Bapak terlalu mementingkan negara."

Lantas wanita itu melanjutkan,"Rumah ini terlalu sempit untuk menampung anak-anak, di sini tidak ada tempat tidur."  Suatu bentuk protes yang wajar dan sesuai dengan kenyataan. Bukan mengada-ada. Karena memang begitulah keadaan sebenarnya. Yang akhirnya, ia harus rela melihat anak-anaknya tidur di atas papan kayu tanpa kasur dan sprei.

Tapi wanita itu, yang pernah menjahit bendera pusaka, yang pernah merasa tersakiti karena diduakan, ditigakan, atau ah entahlah, dalam hati kecilnya ia amat suka cita karena suaminya akhirnya berkenan kembali. Meski hanya sekejap.

Laki-laki itu masih juga menggunting daun. Hingga luruh beberapa helai di ujung kakinya. Ia ikhlas meninggalkan semua. Selayak daun yang dipetik paksa dan melayang jatuh mencium tanah. Segala bentuk kemewahan, jika memang makan sayur lodeh lantas pantas disebut sebagai kemewahan, rela ia tinggalkan. Seluruh harta benda, barang-barang berharga, luasnya istana, ya...tak menyurutkan langkah kakinya untuk pergi. Sebab memang bukan kemewahan yang ia cari.

Ia teramat sangat mencintai bangsa dan negeri ini. Itulah tujuan hidup sesungguhnya.

Hingga waktu merebut semuanya. Mengusik mimpi dan cintanya. Ia tak mampu lagi mempertahankan raganya sendiri. Raga yang sekian lama ikut berjuang namun tak pernah mendapat perhatian selayaknya. Lihatlah, ia bahkan tak sempat memikirkan dirinya sendiri, kesehatannya sendiri yang bagi sebagian orang merupakan harta tak ternilai.

Ia memang tinakdir terlahir untuk memikirkan negeri ini.

Laki-laki itu masih menggunting daun. Ia menuangkan segala resah, gelisah, asa, pada setiap helai yang terpotong. Tatapannya kosong. Ia menunggu. Akankah daun yang diguntingnya segera bertunas membentuk batang yang kokoh? Menggerumbul selayak pohon beringin yang pernah diwujudkannya dalam salah satu sila negara? Pohon yang secara simbolis memiliki makna besar. Mengayomi. Meneduhkan. Mencintai. Bersatu padu.

Ia masih ingin menggunting daun, ketika seorang sahabat sejatinya, seperjuangan, menjenguknya. Di sebuah kamar sempit yang menjadi saksi bisu. Di mana dua anak manusia yang pernah mengukir sejarah itu saling berpelukan.

''Bagaimana kabarmu, No?"

"Bagaimana pula kabarmu, Hatta?"

Ah, sebuah percakapan yang membuahkan tangis. Air mata berlomba jatuh. Luruh satu-satu semirip dedaunan yang pernah diguntingnya. Air mata sahabat melayang membasahi wajah yang terbaring lemah. Beningnya meleleh membasuh hati yang pedih karena luka. Mencintai bangsa dan negara sendiri yang tak pernah mengerti apa itu arti cinta dan perjuangan, bukankah sangat memedihkan? Atau mungkin ia yang mesti belajar sabar. Menunggu sejarah membuktikan, bahwa cintanya pada bangsa dan negara ini adalah cinta yang tak bisa diibaratkan lagi.

Beberapa jenak hening mencekam. Yang ada hanya gemuruh dua hati yang tak pernah diam memikirkan hal yang sama. Bangsa dan negara.

Laki-laki yang pernah menggunting daun itu pun akhirnya benar-benar pergi. Ia berpulang selamanya ke istana Illahi Robbi. Setelah terlebih dulu ia menjabat erat jemari sahabatnya.

 

****

*Dari FB Butet Kartaredjasa bersama Mahyar Suryaman 6 Juni 2015: Saat-Saat Terakhir Bung Karno Setelah Terusir dari Istana Negara

*Sumber referensi : Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 :Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabhirawa By Maulwi Saelan

*Sumber gambar:nasional.news.viva.co.id

Malang, 13 Februari 2016

Lilik Fatimah Azzahra

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun