Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Geger Negeri Angan

7 Januari 2016   06:44 Diperbarui: 7 Januari 2016   07:46 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kedatangan Selasih, penari muda nan cantik jelita itu, kerajaan Negeri Angan sedikit terguncang. Selasih seolah memiliki daya magnet yang mampu menarik perhatian siapa saja. Tak terkecuali Baginda Arya Ben sang pemangku kerajaan. Beberapa kali decak kagum Baginda terlontar saat menyaksikan Selasih menari.

"Dia cantik dan berbakat." Baginda Arya Ben tak melepas pandangannya sedetik pun dari sosok Selasih. Patih Gasa yang berdiri di samping beliau cukup mahfum. Pujian dan kekaguman Baginda merupakan sebuah sinyal bahwa Raja tidak hanya sekedar mengagumi. Tapi lebih dari itu.

Dan gosip murahan pun mulai merebak. Kasak-kusuk tentang ketertarikan Baginda Arya Ben pada sosok Selasih bukan rahasia lagi.

Berita panas itu sampai juga ke telinga Dewi Nara, sang permaisuri. 

"Permaisuri sebaiknya segera mengambil tindakan sebelum perempuan bernama Selasih itu menguasai hati Baginda," Emban Sumi membisiki junjungannya.

"Aku belum berani membahas masalah ini di hadapan Baginda, Mbok Sum," Dewi Nara melempar pandangan ke luar jendela.

"Apa perlu saya yang maju menghadap Baginda, Gusti Ayu?" Emban Sumi beringsut sembari membetulkan letak kembennya yang melorot.

"Jangan, Mbok Sum. Ini masalah intern. Biar kuselesaikan sendiri." Permaisuri menelan ludah. Wajahnya menegang.

"Gusti Ayu bisa mengandalkan saya," Emban Sumi menelangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Menghormat takzim.

"Baiklah, Mbok Sum, nanti kita akan bicara lagi," Dewi Nara berdiri. Memberi isyarat kepada emban tua itu agar bergegas pergi. Karena dari jauh tampak Baginda Arya Ben berjalan terburu memasuki Wsma Kaputren.

 

***

Selasih merenung di dalam kamarnya yang sempit. Hari ini ia memiliki sedikit waktu luang untuk beristirahat.

"Emak balur kakimu pake parem, ya, Nduk," suara ibunya membuatnya menoleh.

"Nanti saja, Mak. Aku ingin istirahat dulu," Selasih menaikkan kedua kakinya ke atas tempat tidur. Ibunya mendekat dan duduk di sampingnya.

"Nduk, apa benar omongan orang-orang itu?" Sang ibu bertanya serius.

"Omongan yang mana, Mak?" Selasih menelungkupkan badan sembari memeluk bantal.

"Tentang Baginda Raja yang tergoda padamu...."

Selasih menggeser tubuhnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.

"Mak, bukan Baginda Raja yang tergoda, tapi aku," ia menyahut lirih. Sang ibu terhenyak. Memandang wajah anak perempuannya itu berlama-lama.

"Ada apa Mak? Apa aku salah?" Selasih bergumam lirih.

"Nduk, tidak ada yang salah. Hanya... pantaskah kamu tergoda pada seorang pemangku negeri ini yang secara derajad saja sudah berbeda? Jangan seperti pungguk merindukan bulan."

"Kenapa Mak? Apa karena kita kere?" Selasih menengadahkan wajahnya. Matanya sayu menerawang jauh. Menembus angan yang melampaui batas pikirannya.

***

Suara gamelan mengalun mendayu. Mengiringi sosok lencir kuning yang tengah menari gemulai di balairung pendopo. Baginda Arya Ben duduk mendampingi para tetamu di deret kursi paling depan. Pandangannya tak lepas sedetik pun dari sosok Selasih. Sesekali Selasih melempar senyum ke arah junjungannya itu. Hati Baginda berdesir. Tak dapat dipungkiri, Selasih telah menebar benih katresnan di relung hati Baginda.

"Kau lihat, Patih Gasa? Penari itu sibuk menggoda Baginda dengan senyumnya," Emban Sumi mencibir ke arah Patih Gasa yang berdiri tidak jauh darinya.

"Raja juga manusia, Sum. Melihat wanita muda dan cantik itu normal. Sudah, sana! Siapkan makanan. Sebentar lagi acara jamuan makan siang dimulai," Patih Gasa menggendikkan kepala. Mengusir emban tua yang super cerewet itu.

***

Patih Gasa menghampiri Selasih yang berjalan terburu menuju ruang ganti.

"Selasih, usai jamuan makan siang, Baginda Raja memintamu untuk bertemu di Taman Sari Kerajaan."

"Baiklah, terima kasih Paman," Selasih mengangguk ke arah patih si pembawa pesan.

Selasih melepas busana tarinya satu persatu. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Mengapa Baginda meminta untuk bertemu? Apakah ia telah berbuat kesalahan?

Guuubrakk! Pintu kamar ganti terbuka lebar. Emban Sumi menghampiri Selasih seraya membawa segelas air. Tapi belum sempat wanita tua itu mengatakan sesuatu, Patih Gasa sudah berdiri tegak menghadangnya.

"Mau melakukan hal yang sama lagi, Sum?" Patih Gasa menatap tajam.

"Eh, anu, pasti Selasih sangat haus setelah menari," Emban Sumi berkata terbata-bata. Patih Gasa tersenyum tipis. Tangan kekarnya meraih gelas minuman dari tangan wanita tua itu. Lalu tanpa babibu lagi ia mendongakkan wajah Emban Sumi.

"A-pa yang kamu lakukan...?" Emban Sumi memekik.

"Minum air ini!" Patih Gasa menghardik. Emban Sumi sangat terkejut. Dan rasa terkejutnya kian menjadi manakala minuman dalam gelas itu tahu-tahu sudah masuk ke dalam tenggorokannya. Sesaat wajah wanita itu berubah. Dari memucat menjadi panik.

"Kenapa, Sum? Kenapa kamu ketakutan setelah minum air ini?" Patih Gasa tersenyum sinis. Ia membuang gelas di tangannya begitu saja. Sementara Emban Sumi memegangi lehernya yang terasa panas dan mengejang. Ia mengerang. Wajahnya berubah mengerikan dengan mata melotot menahan rasa sakit yang teramat sangat.

"Hal ini sudah pernah kamu lakukan, bukan? Demi junjunganmu Dewi Nara, kamu meracuni permaisuri yang asli. Tapi kali ini aku tidak akan tinggal diam, Sum. Tak akan kubiarkan kamu membunuh Selasih," Patih Gasa menyipitkan matanya. Emban Sumi tidak mampu lagi menyahut. Ia menggelosoh jatuh ke lantai. Sejenak tubuh tuanya menggelojot. Lalu berhenti. Kaku.

Selasih menyaksikan semua kejadian itu dengan tubuh gemetar. Ia sangat ketakutan. Tanpa sadar ia berteriak sekeras-kerasnya.

"Selasih?" seseorang menyentuh pundaknya. Selasih mengucek kedua matanya.

"Ben, aku tertidur ya?" Selasih menatap Beni malu-malu.

"Itulah, kamu juga sih memaksakan diri lembur sampai larut malam," Beni merapikan meja yang berantakan.

"Gegara dikejar deadline, nih. Mana tulisanku harus rampung hari ini juga...." Selasih meluruskan pundaknya yang terasa kaku.

"Lalu ngapain pake acara teriak-teriak segala? Mimpi buruk ya?" Beni menatap geli.

"Mimpi jadi penari kerajaan, Ben. Dulu sewaktu kecil aku sempat bercita-cita ingin jadi penari. Tapi setelah mimpi barusan, nggak jadi, deh. Mending jadi penulis fiksi saja," Selasih tertawa. Ia berdiri. Membuka jendela ruangan dan membiarkan sinar matahari masuk menghangatkan tubuh serta pikirannya.

****

Malang, 07 Januari 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Sumber gambar:doddi-sularto.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun