Astaga, sekarang sudah tanggal 21 Desember. Bukankah besok hari ulang tahun Mama? Bertepatan dengan Hari Ibu, 22 Desember.
Bergegas aku melangkah ke ruang kerja. Merogoh laci meja dan meraih sebuah buku diary kecil berwarna merah jambu. Sudah menjadi kebiasaanku, menjelang satu hari ulang tahun Mama aku pasti menuliskan perasaanku di dalam buku itu.
Jari-jari siap membuka diary merah jambu ketika tetiba tangis Jasmine terdengar dari dalam kamar. Kuurungkan niatku. Kuhampiri bayi mungilku yang baru berusia 3 bulan itu. Kuraih dia dari box bayi. Kutimang-timang sebentar. Ia pun terlelap kembali.
Perlahan kubaringkan Jasmine. Kupandangai wajah mungil nan menggemaskan itu dengan perasaan bahagia. Ah, serta merta aku teringat pada Mama. Apakah perasaan Mama juga sama seperti perasaanku saat ini ketika aku masih bayi?Â
Anganku mundur ke beberapa tahun silam. Saat aku masih duduk di bangku SMA kelas akhir. Aku ingat bagaimana koppignya diriku. Aku tipe gadis yang sulit dinasehati dan suka bertindak semau gue. Mama sering kewalahan menghadapiku. Tak jarang kulihat Mama meneteskan air mata jika berhadapan dengan kebengalanku.
"Cinta, akhir-akhir ini kamu sering pulang telat. Kemana saja kamu, Nak?" tegur Mama saat melihatku berjalan mengendap-endap memasuki rumah.
"Aku belajar kelompok di rumah teman, Ma," sahutku berbohong. Sebenarnya aku tidak belajar kelompok, tapi ber-hang out ria bersama teman-temanku hingga lupa waktu.
"Cin, anak gadis tidak pantas keluyuran. Pulang sekolah alangkah baiknya langsung pulang ke rumah," Mama menatapku. Seolah tahu kalau aku berkata tidak jujur. Untuk menghindari interogasi Mama lebih jauh, aku bergegas masuk ke dalam kamar.
'Makan dulu, Cin. Nanti kamu sakit," Mama membuntutiku.
"Aku masih kenyang, Ma," sahutku seraya meletakkan tas sekolah di atas meja.
"Kenyang? Memang Cinta makan apa?"