"Jangan pergi, Bay...," ujarku tercekat. Bay terdiam. Pandangannya lurus tertuju pada lengkung kaki langit.
"Tanpamu, dunia persilatan akan sepi," lanjutku masih dengan nada yang sama. Tercekat.
Bay mendekat. Meraih pundakku dan menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya.
"Tiara...," desahnya. Aku membiarkan tubuh ringkihku meringkuk dalam dekapnya.
"Kau tahu, ketika seseorang tidak merasa nyaman lagi tinggal di suatu tempat, maka jalan satu-satunya adalah hengkang dari tempat itu," Bay menempelkan wajahnya di atas kepalaku.
"Harus begitukah?" tanyaku perlahan.
"Entahlah." Ia menggoyangkan kepalanya.
"Kau ragu-ragu, Bay," aku menertawakannya. Bay tersenyum kelu.
"Tiara, jikalau ada yang mampu membuatku menghentikan langkah, kupastikan itu hanya dirimu," ia mengangkat wajahku. Menatapku dengan duka tersembunyi.
"Tapi tidak untuk kali ini. Aku tetap harus pergi," ia memejamkan matanya.
Tiba-tiba mataku basah.