"Jangan pergi, Bay...," ujarku tercekat. Bay terdiam. Pandangannya lurus tertuju pada lengkung kaki langit.
"Tanpamu, dunia persilatan akan sepi," lanjutku masih dengan nada yang sama. Tercekat.
Bay mendekat. Meraih pundakku dan menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya.
"Tiara...," desahnya. Aku membiarkan tubuh ringkihku meringkuk dalam dekapnya.
"Kau tahu, ketika seseorang tidak merasa nyaman lagi tinggal di suatu tempat, maka jalan satu-satunya adalah hengkang dari tempat itu," Bay menempelkan wajahnya di atas kepalaku.
"Harus begitukah?" tanyaku perlahan.
"Entahlah." Ia menggoyangkan kepalanya.
"Kau ragu-ragu, Bay," aku menertawakannya. Bay tersenyum kelu.
"Tiara, jikalau ada yang mampu membuatku menghentikan langkah, kupastikan itu hanya dirimu," ia mengangkat wajahku. Menatapku dengan duka tersembunyi.
"Tapi tidak untuk kali ini. Aku tetap harus pergi," ia memejamkan matanya.
Tiba-tiba mataku basah.
Â
***
Siapa Bay? Mengapa bulir air mataku rela menggelinding jatuh demi dia? Kau tahu, sejak bertahun lalu, air mata ini kupastikan telah mengering. Tak kubiarkan satu tetes pun tersisa. Tapi mengapa untuk seorang Bay aku kalah?
Itu karena Bay istimewa di hatiku. Ia datang tanpa kuketahui dari mana asalnya. Ia muncul begitu saja. Begitu tiba-tiba. Seperti sebuah bayangan yang tahu-tahu ada ketika kita berdiri di bawah sorot lampu dalam kegelapan.
Ia selalu bersamaku. Aku merasa tidak sendiri lagi. Ya, Tiara yang tengah bersembunyi di padepokan sunyi tak lagi merasa sunyi.
'Mengalahlah, dan biarkan cinta membawamu kembara," tuturnya suatu hari mengutip selarik puisinya. Aku tertawa. Ah, Bay kau memang jawara dalam meramu kata.
"Sebab jika reinkarnasi benar adanya, tak akan kau jumpai lagi rumput, aku, kau, atau dia. Barangkali cuma cinta saja yang tersisa," ia meneruskan kalimatnya sembari membiarkan aku berlari riang di antara rumput ilalang setinggi pinggang.
Aku tak tahu makna kata-kata yang diucapkannya. Tapi aku bisa merasakan. Kata-kata itu begitu indah.
"Sudah, jangan keasyikan mendengar puisiku, ntar kamu jatuh cinta padaku," ujarnya berseloroh.
'Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu?" balasku menantangnya.
"Tidak ada yang salah. Cuma kau akan...," ia tak melanjutkan kalimatnya. Tangan kekarnya mencabut sebatang rumput dan menggigitnya perlahan. Aku terdiam. Menunggu.
"Akan apa, Bay?" desakku demi melihatnya tak kunjung bersuara.
"Mmm..., kau akan, tambah cantik!" ia melempar rumput di tangannya.
"Bukan, bukan itu yang akan kau katakan," aku menggeleng. Aku tahu ia hanya berusaha menyenangkan hatiku.
"Tiara, sudah berlatih jurus menepis bayangan, belum?" ia sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Sudah. Tapi kurasa aku gagal. Karena aku sama sekali tak mampu menepis bayanganmu dari benakku!" teriakku kesal.
Bay tertawa.
***
Sekarang ketika ia pamit pergi, baru akan paham mengapa ia tidak melanjutkan kalimatnya waktu itu.
"Tidak ada yang salah, cuma kau akan sakit...." Itu kan yang akan kau katakan waktu itu, Bay?
***
Ia benar. Barangkali cuma cinta saja yang tersisa, seperti selarik puisi indah yang pernah ia tuturkan padaku.
Ah, tapi, Bay, tunggu dulu! Sebelum kau benar-benar pergi, biar kurombak sedikit puisimu ya....Â
"Sebab jika reinkarnasi memang benar adanya, masih akan kau jumpai rumput, aku, kau, atau Dia, dan masih ada cinta lebih indah dari sebelumnya...."
Bagaimana Bay? Lebih keren puisiku kan?
Kenapa Bay? Kau tidak terima puisi indahmu kuobrak-abrik?
..........................
Aku berdiri menahan tangis di tengah rumput ilalang setinggi pinggang. Berharap Bay kembali dan memarahiku....
****
Malang, 08 Desember 2015
Lilik Fatimah Azzahra
*Tulisan ini kupersembahkan khusus untuk : Penulis Fiksi Hebat yang kemarin pamit hengkang dari Kompasiana, Ahmad Maulana.
*Cuplikan larik puisi Ahmad Maulana : Mengalahlah, dan Biarkan Cinta Membawamu Kembara ( 17 Juli 2015 )
*Sumber gambar:www.gadis.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H