Â
***
Siapa Bay? Mengapa bulir air mataku rela menggelinding jatuh demi dia? Kau tahu, sejak bertahun lalu, air mata ini kupastikan telah mengering. Tak kubiarkan satu tetes pun tersisa. Tapi mengapa untuk seorang Bay aku kalah?
Itu karena Bay istimewa di hatiku. Ia datang tanpa kuketahui dari mana asalnya. Ia muncul begitu saja. Begitu tiba-tiba. Seperti sebuah bayangan yang tahu-tahu ada ketika kita berdiri di bawah sorot lampu dalam kegelapan.
Ia selalu bersamaku. Aku merasa tidak sendiri lagi. Ya, Tiara yang tengah bersembunyi di padepokan sunyi tak lagi merasa sunyi.
'Mengalahlah, dan biarkan cinta membawamu kembara," tuturnya suatu hari mengutip selarik puisinya. Aku tertawa. Ah, Bay kau memang jawara dalam meramu kata.
"Sebab jika reinkarnasi benar adanya, tak akan kau jumpai lagi rumput, aku, kau, atau dia. Barangkali cuma cinta saja yang tersisa," ia meneruskan kalimatnya sembari membiarkan aku berlari riang di antara rumput ilalang setinggi pinggang.
Aku tak tahu makna kata-kata yang diucapkannya. Tapi aku bisa merasakan. Kata-kata itu begitu indah.
"Sudah, jangan keasyikan mendengar puisiku, ntar kamu jatuh cinta padaku," ujarnya berseloroh.
'Memang apa salahnya jika aku jatuh cinta padamu?" balasku menantangnya.
"Tidak ada yang salah. Cuma kau akan...," ia tak melanjutkan kalimatnya. Tangan kekarnya mencabut sebatang rumput dan menggigitnya perlahan. Aku terdiam. Menunggu.