#Catatan kecil masa lalu#
Maaf, aku tak mau dipoligami...
Bukan hendak menentang hasrat kelelakianmuÂ
atau tak tergiur pada surga
yang sengaja kau iming-imingkan padaku
Aku hanya tak ingin mendustai hati nurani
Berbagi cinta, berbagi hati, berbagi suami,
kau tahu? itu pedih...
Aku hanya wanita biasa
dengan kadar keimanan jauh dari sempurna
Jadi maaf dan maklumi aku,
jika aku memilih tak mau dipoligami....
Â
Usai membaca ulasan Bapak Iskandar Zulkarnain yang berjudul Polygami itu Sunah Rasul di Kompasiana, 15 September 2015, saya memberanikan diri mempublish catatan kecil di atas. Catatan yang tersimpan rapi selama bertahun-tahun. Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengumbar masalah pribadi. Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Barangkali ada hikmah yang bisa diambil di dalamnya.
Yah, ketika itu usia saya baru menginjak kepala tiga, anak-anak saya masih ingusan, eh, tiba-tiba suami meminta izin untuk berpoligami. Alasannya klise, beliau ingin mengikuti sunah Rasulullah.
Jangan ditanya bagaimana perasaan saya saat itu. Saya nggak mau munafik. Jelas saya marah, sedih, nangis tujuh hari tujuh malam ( bener nih, nggak lebay...) dan segala perasaan campur aduk nggak karuan. Saya sempat menyalahkan Rasulullah, kenapa sih beliau membolehkan kaum laki-laki berpoligami? Maklumlah, pengetahuan saya tentang agama tidak sedalam suami saya yang rajin menghadiri pengajian-pengajian dan berteman dengan para Kyai. Saya hanya ibu rumah tangga biasa. Yang daya pikirnya pas-pasan.
Jadi alasan yang dikemukakan suami bahwa keinginannya berpoligami semata-mata untuk mengikuti sunah Rasul, saya tolak mentah-mentah. Wanita mana sih yang rela dimadu? Banyak. Tapi salah satunya bukan saya.
Penolakan saya menimbulkan amarah suami. Saya dicap istri yang mbalelo. Ditakut-takuti bahwa saya tidak akan masuk surga karena berani menentang suami. Wah, segala macam ancaman dan kecaman dilontarkan kepada saya.
"Seorang istri yang ikhlas dimadu, jaminannya adalah surga." Itu kata-kata suami saya.
"Banyak jalan menuju surga. Aku akan mencari surga dengan cara lain. Bukan dengan cara dipoligami." Ini jawaban saya waktu itu. Lah, saya nggak tau jawaban saya benar apa tidak.
Intinya saya bersikukuh, Saya tidak mau dipoligami, titik.
Dan saya pun memilih berpisah.
Tapi itu cerita lama. Cerita masa lalu yang sudah basi. Seperti kata Bapak Iskandar Zulkarnain, menjawab komen saya pada tulisan beliau kemarin, selalu ada hikmah di balik semua kejadian. Betul. Pak Is, matur nuwun. Tulisan Bapak memberi saya pencerahan sekaligus pengetahuan seputar keinginan laki-laki berpoligami.
Semoga tidak ada lagi laki-laki yang berdalih mengikuti sunah Rasul demi pembenaran nafsu belaka.
Â
                    ***
Malang,16 September 2015
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H