Ada yang bilang, hidup itu tak semulus pantat bayi. Mulus tanpa goresan. 'Elah, perumpamaannya gitu amat. Tapi, iya, 'kan?' Dalam hidup ada berbagai macam masalah yang harus dihadapi dari sejak lahir. Bertambah usia, masalah yang dihadapi makin kompleks.
Ada sebagian orang yang tidak kuat menghadapi masalah hidupnya, kemudian jadi down sendiri. Karena perjalanan hidup itu tidak mudah, maka butuh kesabaran dan tindakan. Ibarat sebuah guci keramik. Tahu guci? Ya, guci yang terbuat dari tanah liat. Proses pembuatannya amazing menurutku.
Dari pemilihan tanah liat terbaik, teknik pembentukan, pengeringan, hingga pengecatan. Yang paling sulit di bagian teknik pembentukan. Jika pembentukannya bagus, hasilnya pun bagus. Begitu pun sebaliknya. Berliku-liku, butuh kesabaran luar biasa, konsistensi, hingga menghasilkan sebuah mahakarya yang cantik nan kuat. Mirip alur hidup manusia, ya.
Kali ini, aku setuju dengan perumpamaan itu. Aku menghela napas memandangi es krim yang meleleh di tangan, lalu kubuang ke tempat sampah. Suasana sekitar taman tampak lengang. Matahari siang ini tak lebih parah panasnya daripada panas hati yang kudapat dari cemooh tetangga kompleks rumah.
"Mbak Rianti kapan nikah, ya?"
"Nggak, tahu. Masak dia mau jadi perawan tua?"
"Anak janda miskin aja belagu. Sok nggak mau dilamar sama Mang Udin. Untung-untung ada yang mau. Nggak lihat umur apa."
"Iya, kan lumayan nanti ada yang bantu biayain keluarganya. Adeknya juga butuh biaya sekolah, 'kan?"
"Itu mulut nggak pernah disekolahin apa, ya?" Aku mendengkus kesal tiap mendengar gunjingan ibu-ibu kompleks saat mereka belanja sayur di depan rumah. Bukannya apa, masalahnya Mang Udin itu sudah punya dua istri. Mau nambah istri lagi. Dalam benak, tak pernah terlintas keinginan jadi madu, meskipun dia anak Pak Lurah yang sudah terkenal kekayaannya di kompleks.
Dua tahun lagi, umurku hampir memasuki kepala tiga. Sejauh ini, aku tidak pernah pacaran. Hidupku hanya kulewatkan untuk bekerja demi kelangsungan hidup ibu dan adik-adikku. Sulung dari empat bersaudara mengharuskanku jadi tulang punggung.
Masa mudaku terlewat disibukkan dengan pekerjaan. Aku menyampingkan masalah pendamping hidup. Bukannya tidak ada yang mau, cuma yang mendekat kebanyakan kurang cocok. Sebaliknya, yang aku suka malah tidak ada rasa. Jadi, tidak ada waktu lagi bagiku memikirkan tentang percintaan.