Mohon tunggu...
Reza Sukma Nugraha
Reza Sukma Nugraha Mohon Tunggu... lainnya -

Blogger\r\nhttp://elfarizi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional Membunuh Karakter Bangsa

20 April 2011   04:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga hari sudah adek-adek SMA mengikuti Ujian Nasional (UN). Ujian yang menjadi penentu hidup matinya seorang siswa kelas tiga dan modal utama mendapat secarik kertas bernama "ijazah". Sejatinya, UN digadang-gadang sebagai pengukur kemampuan peserta didik dan menguji daya ingat, berhubung materi yang diujikan konon katanya juga pernah disampaikan sejak kelas satu hingga kelas tiga. Tapi, UN juga membawa saya mengenang lima tahun lalu--ketika saya duduk di bangku pesakitan UN--yang kemudian memberi kesan mendalam bahwa UN memang bisa membunuh karakter individu, termasuk saya. Cianjur, 2006 Sebuah SMA Negeri cukup favorit di sebuah kecamatan. Beberapa hari menjelang UN, wajah-wajah yang kikuk dan cemas menghiasi wajah sekolah saat itu. Siswa kelas tiga dari berbagai jurusan--termasuk saya di jurusan Bahasa--dan beberapa orang guru memiliki reaksi macam-macam. Ada yang selalu minta doa, minta bantuan pas UN, minta saran belajar efektif sama yang pintar. Guru-guru gak bosan menasihati, yang asalnya killer jadi sering memberi semangat, peraturan diperlonggar jadi siswa jarang kena hukuman. Selepas hajat doa bersama digelar, kepala sekolah member wejangan. Katanya, banyak belajar dan jangan lupa berdoa. Lalu, katanya juga, 'Tingkatkan kerjasama!' Nah loh, apa maksudnya?Selepas itu beberapa guru masuk ke setiap kelas. Juga di kelas saya. Wali kelas dan seorang guru yang terkenal disiplin, galak, dan idealis. Biasanya kalo lagi ulangan, ada siswa yang kedapatan mencontek, guru tersebut gak segan-segan mengeluarkan siswa tersebut. Seribu cadangan hukuman selalu ia persiapkan. Tapi, saat itu wajahnya tak biasa. Ia lebih bersinar dan segar. Sebelumnya kita sama-sama berdoa. Lalu, beliau juga memberikan trik-trik menjawab soal UN secara efisien tapi jitu. Lalu, lagi-lagi, sama seperti kepala sekolah, beliau mengingatkan agar kita saling bekerja sama. Katanya, yang bisa jangan sungkan 'berbagi' dengan yang tidak bisa. Dan, parahnya saat itu, secara khusus beliau mewanti-wanti saya agar 'bertanggung jawab' terhadap hasil ujian teman-teman sekelas, terlebih lagi dua mata pelajaran, yakni Bahasa Inggris dan Arab. Loh kok? Saat itu juga, tiba-tiba wajah idealis beliau berubah drastis. Beliau juga menganjurkan agar teman-teman sekelas membentuk trik khusus, misalnya memberi kode "pegang kuping kanan" untuk A, "pegang kuping kiri" untuk B, dan lain-lain. Katanya lagi, alangkah baiknya, teman-teman sekelas 'bersabar' menunggu saya berkonsentrasi terlebih dahulu 15 hingga 30 menit. Setelah itu, baru mintalah kode pada saya. Satu lagi, kita diminta membuat titik aman di luar kelas, tempat menjatuhkan kunci jawaban. Jadi, kalau ada kesempatan, saya diminta ke WC di menit 45 dan menjatuhkan kunci jawaban di titik aman tersebut. Karena kalau dijatuhakn di WC, maka berisiko dirazia pengawas. Nanti, selang sepuluh menit, seorang teman mendapat 'mandat' untuk mendatangi titik itu dan menyebarluaskan pada teman lainnya di ruangan lain dengan HP. Waahh, kaget bukan main. Guru saya yang selama ini saya kenal sangat kejam dalam urusan contek-mencontek dan disiplin, tiba-tiba menciptakan sebuah konspirasi yang sangat-sangat merugikan saya! Ya, saya! Saya tidak merasa keberatan kalau sekadar berbagi jawaban 1, 2, 3, 4, atau 5 jawaban pada teman. Tapi, mengapa tiba-tiba secara mendadak saya di-setting untuk malaikat penyelamat teman sekelas, bahkan satu jurusan. Saya juga tiba-tiba memikul 'tanggung jawab' teman-teman lainnya. Artinya, kalau sampai ada yang nilainya jelek atau bahkan gagal, tentu saya lah yang menanggung beban. Ckckckck. Namun, demi teman-teman, itu bukanlah masalah besar. Yang, saya heran, mengapa trik-trik murahan seperti ini justru diatur serapi mungkin langsung oleh sekolah. Mengapa keberhasilan peserta didik jadi tanggung jawab 'saya' saja. Toh, kalau dia sudah memberikan yang terbaik untuk siswa, ia akan siap untuk berhasil atau gagal. Itu sekadar potret sangat-sangat kecil tentang bobroknya UN. Belum lagi ribuan cerita di luar sana. Kalau saja Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional belum menemukan sistem efektif untuk kelulusan peserta didik di setiap tingkatan, pembunuhan karakter seperti ini akan terus hidup dan tumbuh subur di Indonesia. Kala hidup mati hanya ditentukan hanya dalam tiga hari saja. Tentu, bukan sekadar urusan akademik siswa, tapi kondisi psikologis siswa yang beragam menghadapi UN sebagai momok. Tak sedikit, siswa yang pintar namun gagal dalam UN. Selamat berpikir, Pak Menteri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun