Mohon tunggu...
Elif Pardiansyah
Elif Pardiansyah Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Era Baru Bank Syariah Model 2.0

8 Oktober 2017   20:08 Diperbarui: 9 Desember 2017   15:30 1832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari sisi nasabah yang awam, pendekatan reverse engineering ini membuat nasabah menjadi sulit melihat perbedaan antar Bank Syariah dan Bank Konvensional sehingga munculah pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa "Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional, terus lebih mahal lagi". Mahalnya produk Syariah sendiri dapat disebabkan oleh size Bank Syariah sendiri yang masih kecil sehingga belum bisa mencapai Scale of Economies yang menjadi keunggulan Bank Konvensional. Hal lain yang menyebabkan produk Bank Syariah menjadi lebih mahal karena untuk mencapai output yang sama dengan produk Bank Konvensional maka produk Bank Syariah harus mencari "jalan putar" melalui reverse engineering tadi yang membuat cost menjadi lebih mahal.  

Ketiga, awal kehadiran Bank Syariah pada awalnya digadang-gadang akan mempromosikan sistem Profit-Loss Sharing (PLS) melalui akad yang sifatnya joint venture seperti mudarabah & musyarakah. Akad ini dianggap lebih adil karena resiko usaha akan ditanggung bersama oleh Bank dan Debitur (risk-sharing) sehingga dianggap akan membuka peluang lebih luas bagi debitur yang tidak memiliki agunan ataupun credit history. Namun kenyataannya, produk pembiayaan Bank Syariah hari ini masih didominasi oleh akad berbasiskan utang seperti Murabaha (jual-beli). T

o be fair, apabila akad Murabaha ataupun Ijarah yang dijalankan sesuai aturan, maka ini tidak menimbulkan masalah karena memang dibolehkan dari sisi syariat. Tapi hal ini membuat kita kembali pada permasalahan di poin kedua, dimana diferensiasi antara Bank Syariah dan Bank Konvensional menjadi kabur di mata nasabah yang awam karena bunga pada bank konvensional hanya seolah-olah digantikan dengan margin pada bank Syariah. Dan jika nasabah tidak melihat perbedaan yang signifikan, maka nasabah akan cenderung mencari pembiayaan dengan bunga yang lebih rendah yang pada umumnya dimiliki oleh Bank Konvensional.

Keempat, sangat jarang Bank Syariah yang berani menggunakan sistem PLS ketika berakad dengan depositor. Di dalam sistem PLS, bagi hasil didasarkan kepada hasil usaha yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya usaha. Alhasil, nasabah deposan yang menjadi investor di bank Syariah memiliki peluang untung dan juga menanggung resiko rugi. Dalam skenario ini, tabungan deposan yang dianggap sebagai dana investasi bisa saja berkurang apabila bank mengalami kerugian usaha. Mayoritas nasabah tentu tidak suka dengan hal ini. Untuk menghindari resiko ini, maka bank Syariah memilih untuk menerapkan sistem "Revenue Sharing" (RS) dimana bagi hasil didasarkan pada  pendapatan. 

Karena secara teori pendapatan paling rendah sebuah perusahaan adalah nol rupiah, maka deposan tidak akan pernah mengalami kerugian. Sistem RS ini menguntungkan untuk nasabah namun merugikan untuk Bank Syariah karena otomatis seluruh biaya maupun kerugian usaha ditanggung sepenuhnya oleh Bank sehingga terjadilah kezaliman. Dan jika deposan dijamin tidak akan mengalami kerugian, maka ini adalah bagian dari skema ribawi dimana salah satu pihak hanya mengenal untung semata.  Sistem RS tentulah tidak bisa disamakan dengan sistem bunga, namun sekali lagi hal ini mengaburkan perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. 

Dan di dalam teori marketing, apabila sebuah produk tidak memiliki diferensiasi dibanding kompetitor, maka produk tersebut hanya akan menjadi sebuah komoditas yang cenderung menjadi follower. Orang bisa berargumen dengan mengatakan bahwa sistem "Revenue Sharing" ini merupakan bagian dari cara memperkenalkan Bank Syariah kepada masyarakat yang sudah kepalang tanggung melazimkan bunga. Namun setelah 25 tahun mewajarkan hal ini, maka sudah sewajarnya pula apabila kita mempertanyakan status quo dan mulai berpindah ke sistem yang murni Syariah.

The Rise of Shariah Bank 2.0

Kehadiran bank Syariah sejatinya diharapkan menjadi sesuatu yang "disruptive" untuk dunia industri perbankan seperti halnya ketika Gojek bisa merubah wajah moda transportasi di Indonesia. Oleh karena itu, setelah 25 tahun berada di bawah bayang-bayang saudara tuanya, sudah saatnya Bank Syariah menempuh jalannya sendiri tanpa harus selalu mengekor. Ada 2 solusi yang saling terkait satu sama lain agar Bank Syariah bisa membuat "mazhab"-nya sendiri.

Solusi pertama yang dapat menjadi game-changer dari Bank Syariah adalah dengan memisahkan antara saving account dan investment account. Saving account nantinya akan murni berfungsi sebagai rekening tabungan atau giro yang berfungsi untuk  memenuhi kebutuhan likuditas harian bagi nasabah. Adapun yang menjadi perbedaan adalah Bank Syariah tidak akan menjadikan saving account ini sebagai sumber dana pembiayaan.

 Meskipun begitu Bank bisa mendapatkan fee-based income dari saving account seperti biaya transfer, jual beli valas, dan jasa-jasa lainnya. Sementara investment account nantinya berfungsi sebagai dana investasi yang akan dikelola oleh bank sebagai manajer investasi. Sumber dana Investment account akan berasal dari saving account yang otomatis disisihkan tiap bulan. Adapun jumlah dan tujuan investasinya akan berasal dari analisa profil resiko dari tiap-tiap nasabah sehingga penerapan prinsip "know your customer" (KYC) tidak hanya terbatas pada biodata nasabah namun juga masuk ke dalam aspek risk tolerance dari tiap-tiap customer yang akan direkam dalam database. 

Setelah Bank Syariah berhasil menentukan profil resiko nasabah (low, moderate atau high) maka nantinya bank dapat menentukan portofolio investasi Syariah yang cocok untuk nasabah tersebut baik dari sisi instrumen maupun jangka waktu. Alhasil, Bank Syariah nantinya akan berperan seperti "Investment bank" atau agen reksadana yang menjalankan fungsi "wealth optimization" untuk nasabahnya. Sistem automatic investment a la standing instruction juga akan membantu nasabah agar lebih disiplin dalam menyisihkan dana untuk investasi. Bahkan Akan jauh lebih baik apabila Bank Syariah sudah memiliki teknologi Robo-Advisor yang berdasarkan  analisa big data.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun