Di umurnya yang ke-25 tahun, pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia mulai mengkhawatirkan. Tercatat sampai saat ini terdapat 13 Bank Umum Syariah (BUS) dan 11 Unit Usaha Syariah (UUS). Namun setelah sempat mengalami pertumbuhan double digit pada tahun 2000-an, kini perkembangan bank Syariah cenderung melambat. Jika dilihat dari segi market share, pangsa pasar Bank Syariah kini memang telah melewati 5% trap yang selama ini begitu sulit ditembus.Â
Namun hal ini terjadi lebih karena adanya konversi Bank Aceh menjadi Bank Umum Syariah sehingga pertumbuhannya tidak dapat dikategorikan sebagai organic growth. Hal yang kemudian wajar menjadi pertanyaan adalah mengapa Bank Syariah terlihat sulit berkembang dan bersaing dengan kakak tirinya yakni Bank Konvesional.Â
Jika kita telusuri, tentunya sudah banyak tulisan yang mencoba menjelaskan penyebab-penyebab yang menjadikan Bank Syariah sulit bersaing. Adapun tulisan ini akan berfokus pada isu diferensiasi yang menurut penulis menjadi salah satu permasalahan mendasar yang dialami Bank Syariah. Pada bagian akhir, tulisan ini mencoba memberikan sebuah solusi berupa konsep bank Syariah yang baru yang  akan dinamakan dengan Bank Syariah 2.0.
Playing with the big boys
Jika ditanyakan kepada masyarakat, maka mereka bisa dengan mudah membedakan antara Grab dan Taksi Konvensional. Jika ditanyakan kepada masyarakat, maka mereka bisa dengan mudah membedakan antara Traveloka dan Agen travel konvensional. Sayangnya, masyarakat begitu sulit membedakan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. Penulis akan berargumen bahwa bank Syariah mengalami krisis identitas karena kurangnya diferensiasi yang disebabkan beberapa hal berikut.
Pertama, Bank Syariah sulit bersaing dengan bank konvensional karena sejak awal Level Playing Field-nya memang tidaklah setara. Kita sama-sama tahu bahwa industri perbankan adalah industri yang sangat highly regulated dan dalam hal ini Bank Syariah bukanlah pengecualian. Regulasi ini antara lain mencakup Hukum Positif, Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, dan Peraturan OJK. Situasi kemudian menjadi sangat sulit bagi Bank Syariah karena selain harus patuh terhadap regulasi-regulasi di atas, mereka juga harus patuh terhadap hukum Syariah.Â
Dengan kata lain, Bank Syariah lebih memiliki lebih banyak "batasan" dibandingkan dengan Bank Konvensional. Â Dari sudut pandang agama Islam, tentu hukum Syariah tidak bisa kita anggap sebagai "penghalang", karena semua larangan dari Allah Subhana wa Ta'ala tentu mengandung hikmah bagi kebaikan manusia.
 Namun dari sini pula kita bisa melihat bahwa apabila Bank Syariah ikut bermain di playground yang sama, maka sangat sulit bagi mereka untuk dapat bersaing dengan bank konvensional. Perlu diingat pula bahwa sejak awal pendirian bank, seluruh sistem, fasiltas, dan infrastruktur, dan bahkan hukum perbankan pada dasarnya dirancang untuk mendukung dan melancarkan transaksi yang sifatnya konvensional (baca: ribawi).Â
Sehingga jika diibaratkan sebuah pertandingan sepakbola, maka Bank Syariah sudah kalah 0-3 bahkan sebelum pertandingan itu sendiri dimulai. Karena itu, jika ingin survive, maka Bank Syariah seharusnya membuat permainannya sendiri daripada ikut terjun di permainan yang  sama.
Kedua, Bank Syariah masih menggunakan framework traditional retail banking sehingga  otomatis karakteristik produk-produk yang dijualnya juga serupa by nature. Namun karena produk-produk bank konvensional secara umum tidak sesuai dengan Syariah, maka product manager harus memutar otak untuk membuat struktur produk yang output-nya sama dengan bank konvensional namun tetap Syariah. Istilah keren dari proses ini disebut dengan reverse engineering. Tapi proses reverse engineering ini dapat memunculkan masalah. Jika by nature produk keuangan tersebut berkarakter "netral" maka untuk menghalalkannya cukup dengan "disembelih sesuai syariat".Â
Namun jika produknya berkarakter "ribawi dari sononya" maka mau disembelih atau dimasak dengan cara apapun maka tetap saja produknya menjadi haram. Daging sapi akan menjadi halal apabila disembelih dengan nama Allah Subhana wa Ta'ala, namun daging babi tidak akan pernah menjadi halal walaupun disembelih sesuai syariat. Sehingga yang terjadi adalah produk yang "ribawi dari sononya" dipaksakan menjadi halal dengan menggabungkan berbagai macam akad (hybrid contract) yang jika dilihat sepintas sepertinya baik-baik saja, namun jika dilihat detailnya sesungguhnya akad ini bermasalah dari sisi syariat. Hal ini mengingatkan sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris yang mengatakan " The devil lies in the details". Devil dalam konteks pembahasan ini merujuk pada riba yang tersembunyi.